Sebuah Pengingat
Angin dingin bulan Desember berhembus lagi. Aku menggosokkan kedua tanganku yang tidak memakai sarung tangan sambil terus menyusuri jalan.
"Kau melupakannya lagi, ya?"
Deg. Jantungku terasa seperti berhenti. Suara itu terngiang lagi. Aku menggelengkan kepalaku cepat dan segera kulangkahkan kakiku ke dalam sebuah kedai kopi minimalis di hadapanku untuk sedikit menenangkan dan menghangatkan tubuhku.
Setelah mengatakan pesanan yang kuinginkan kepada pelayan, kupandangi langit mendung melalui kaca besar di samping tempatku duduk. Aku menghela napas, sepertinya akan turun hujan.
"Hujan itu anugerah, kau tahu?"
Suara itu terdengar lagi. Darahku berdesir. Kembali kugelengkan kepalaku untuk mengusir kembali suara itu.
"Aku harus pergi."
"Kau akan menungguku, kan?"
Tiba-tiba air mataku menetes. Aku tertegun. Kedua tanganku kuangkat untuk menutupi telingaku . Enyahlah, Kumohon!
"Teman selamanya. Janji?"
"Selama itu bisa melegakan hatimu, menangislah!"
Air mataku kini mengalir deras. Aku menundukkan kepala sedalam dalamnya. Kedua tanganku yang masih menutupi kedua telingaku yang terasa dingin. Kenapa dia kembali? Kenapa suara ini tak mau pergi? Kumohon pergilah!
***
"Hei!" suaranya mengejutkanku yang sedang serius membaca sebuah buku yang selalu kubawa dua hari belakangan.
"Hentikan itu!" gerutuku. "Kau bisa membuatku memiliki penyakit jantung secara tiba-tiba kau tahu?"
Dia terkekeh pelan. Aku menutup bukuku dengan kesal. "Keluargamu tidak ada sejarah dengan penyakit itu, kau tak akan mendapatkannya," ia menjulurkan lidahnya membuatku refleks memukulnya. Ringisannya membuatku tertawa pelan.
"Kau tahu? Orang tidak akan percaya kalau kau perempuan. Pukulanmu pedas sekali," ia mengelus lengannya dengan dramatis.
Angin kembali berhembus. Aku menggosokkan kedua tanganku. Ah, di musim dingin begini, lagi-lagi aku tidak memakai sarung tangan.
"Kau melupakannya lagi ya?" aku mengangguk dan tersenyum bodoh mengiyakan. Ia menggerutu sambil melepaskan sarung tangan yang ia pakai, lalu menyerahkannya padaku.
Aku menerimanya dan segera memasangkannya di kedua tanganku. "terima kasih, kau baik sekali," ujarku tampak seperti bergumam.
"Hey, berterima kasih itu harus tulus!" ia menjitak kepalaku. Aku meringis dan membalasnya, namun dengan cepat ia mengelak. Aku mendengus. Malas untuk memulai perang.
"Apa yang kau inginkan? kau menyuruhku untuk datang ke sini karena memerlukan sesuatu, kan?"
Ekspresinya berubah menjadi muram, namun itu tak lama karena sekarang ia terlihat sedikit kesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Reminder (Short Story)
RomanceAngin bulan Desember yang berhembus Sepasang sarung tangan yang selalu kulupakan Sebuah buku yang kau tinggalkan Bisikan-bisikan yang terngiang di kepalaku Kau kah itu? Aku hidup di sini dalam kesepian dan kenangan dan siluetmu dalam me...