"Bagaimana seminarnya?" tanya Mbak Dini (Andini), sepupuku yang saat ini tinggal di Korea bersama suami dan anaknya. Suami Mb. Dini, Mas Riefan adalah salah satu pegawai di Kemenlu. Saat ini sedang ditempatkan di Korea. Sudah 3 tahun mereka di negara ini.
"Baik" jawabku asal sambil tetap asyik menatap layar televisi yang saat itu sedang menayangkan sebuah program variety show.
"Baik doang?"tanya Mbak Dini menepak lembut kakiku, menyuruhku bergeser sedikit dari sofa yang sedang kududuki.
"Mmm..."jawabku masih tak melepaskan tatapanku dari televisi.
Mbak Dini meletakan gelas yang dipegangnya ke atas meja dan menatapku,
"Jadi besok rencananya mau jalan kemana?"tanyanya.
"Gangnam. Ada janji dengan teman-teman dari Korea yang ketemu saat seminar. Mereka mengajakku jalan" jawabku masih tak lepas menatap televisi.
"Hati-hati makanannya. Atau mau Mbak bawain bekal aja?" tawar Mbak Dini.
Aku mengangguk setuju, masih menatap televisi.
Mbak Dini menghela nafas dan meraih remote tv, lalu mematikan tv tersebut.
"Kok dimatiin?" protesku menatap Mbak Dini.
"Nanti nontonnya. Mbak mau tanya kamu soalnya. Mau tanya yang serius"
"Tanya apa?"
Mbak Dini terlihat menatapku dengan seksama, seakan menyusun kata-kata,
"Kamu... punya niat buat nikahkan, Nis?"tanya Mbak Dini.
Aku terdiam.
"Maaf. Mbak bukannya mau mencampuri urusan pribadi kamu. Tapi ini murni kekhawatiran Mbak sebagai saudara. Bukan hanya saudara satu keluarga, namun juga saudara seagama. Nggak baik loh nikah itu ditunda. Apalagi kamu perempuan. Nikah itu ibadah" terang Mbak Dini.
Aku tersenyum pahit,
"Siapa yang nggak mau nikah sih, Mbak. Nisa juga ingin menikah. Walau kadang Nisa ragu apakah Nisa siap atau tidak... tapi kalau ingat umur... Nisa tentunya ingin menikah juga. Ingin punya keluarga. Kalau saja tidak diharamkan oleh agama, Nisa bisa saja mencari sperma laki-laki di rumah sakit sperma hanya demi punya anak"
"Astagfirullah al adziim... istigfar, Nis" ucap Mbak Dini memegang dadanya karena kaget.
Aku tersenyum melihat hal itu,
"Nisa istigfar kok, Mbak. Makanya tadi Nisa bilang... seandainya. Nisa tahu itu nggak baik. Islam melarang. Nggak boleh. Makanyaaa..."ucapku setengah tertawa.
"Ya tapi juga nggak boleh ngomong begitu kamunya"Mbak Dini menatapku kesal.
Aku tersenyum pahit.
"Kamu ngomong seperti itu, kesannya kamu sudah putus asa dengan laki-laki. Kamu tidak pernah pacarankan? Tidak pernah patah hatikan? Kok bisa-bisanya sampai putus asa begitu sama laki-laki" ucap Mbak Dini tak mengerti.
Aku menghela nafas dalam sebelum akhirnya memperbaiki dudukku dan menatap Mbak Dini,
"Mungkin, Mbak. Mungkin Nisa memang sudah putus asa dengan laki-laki. Nisa sudah menyerah dengan yang namanya makhluk laki-laki. Mereka menganggap Nisa menakutkan. Nisa yang kuat, Nisa yang mandiri, Nisa yang galak, Nisa yang cerewet, Nisa yang samaaaa sekali tidak lembut, Nisa yang amat sangat biasa, Nisa yang cuek...."aku menarik nafas dalam menahan tangis, "... Nisa... sama sekali tidak pantas untuk mereka. Makanya...."Aku tak bisa meneruskan kata-kata.
"Kalau kamu sadar kamu seperti itu dan laki-laki tidak menyukainya... kenapa tidak coba berubah?"tanya Mbak Dini lembut.
Aku menatap Mbak Dini tajam,
"Kenapa Nisa harus berubah? Kenapa? Apa memang wanita seperti Nisa tidak bisa mendapatkan laki-laki? Tidak pantas untuk mereka? Tidak cocok bagi mereka?"
"Bukannya begitu..."
"Bukannya begitu tapi memang seperti itu kenyataannya kan, Mbak?! Semua mengatakan hal yang sama. Nisa harus berubah. Nisa harus jadi orang lain. Nisa bukan pilihan yang baik karena semua sifat Nisa" ucapku sedikit menaikan suaraku.
"Nis..."
"Mbak Dini tahu Tante Mia bilang apa pada Nisa? Tante Mia ingin mengenalkan Nisa pada anak temannya yang sedikit 'stress' . Katanya walaupun anak temannya itu 'stress' tapi dia yakin kalau menikah, 'stress'nya akan sembuh. Anak temannya walaupun 'stress' tapi dia ganteng"Aku tertawa pahit, "Tante Mia ingin mengenalkan Nisa dengan laki-laki gila. Dan ketika Nisa protes, apa Mbak Dini tahu Tante Mia bilang apa?"
Mbak Dini menatapku sendu.
"Tante Mia bilang... umur Nisa sudak kadaluarsa. Umur kadaluarsa nggak usah milih-milih. Sudah untung ada yang mau nikahin"ucapku menatap Mbak Dini penuh tantangan. Menantangnya untuk mengiyakan ucapan menyakitkan Tante Mia.
Mata Mbak Dini terlihat berkaca-kaca menatapku. Aku memalingkan wajahku menatap televisi yang mati,
"Nisa... sudah menyerah, Mbak. Nisa tak lagi percaya diri bisa mendapatkan laki-laki yang waras. Mungkin sebaiknya Nisa terima saja tawaran jodohnya Tante Mia" ucapku tanpa nada.
Mbak Dini merangkulku seketika,
"Maaf ya, Nis. Jangan sedih. Tante Mia mungkin khilaf. Nggak sadar kalau ucapannya menyakitimu. Maafin ya. Tante Mia mungkin hanya khawatir dengan kamu"bujuk Mbak Dini sambil mengelus lembut kepalaku.
Aku tersenyum hambar,
"Mbak Dini jangan khawatir. Sudah sering sekali Nisa mendengar ucapan yang sama menyakitkannya dengan itu. Bukan hanya dari Tante Mia, tapi dari banyak orang. Orang-orang yang pura-pura mengkhawatirkan Nisa, namun setiap kali Nisa minta mereka membuktikan khawatiran mereka dengan cara meminta mereka mencarikan Nisa jodoh, mereka selalu mengelak dengan berbagai alasan. Mungkin... mungkin memang ini semua salah Nisa. Tidak seharusnya Nisa menjadi wanita yang seperti ini. Wanita yang tidak pantas bagi laki-laki manapun"ucapku pahit.
Mbak Dini melepaskan pelukannya dan menatapku,
"Jangan bicara seperti itu. Kalau kamu meyakini ucapanmu itu, artinya kamu berputus asa dari nikmat Allah. Jangan pernah berputus asa dengan nikmat Allah" ingat Mbak Dini.
Aku menatap Mbak Dini dan tersenyum sedih,
"Nisa tidak putus asa dengan nikmat Allah. Tapi jodoh, rezeki dan maut memang milik Allah kan, Mbak. Kita manusia wajib berusaha. Menurut Nisa... Nisa sudah cukup berusaha. Namun jika Allah menakdirkan Nisa tidak punya jodoh di dunia ini, Nisa bisa bilang apa"
"Astagfirullah, Nisaaa. Jangan bilang begitu. Jangan, Deeek"
"Tapi itu kenyataan yang ada, Mbak. Nisa sudah menganggap apa yang saat ini Nisa jalani, semua adalah takdir dan jalan nasib Nisa. Nisa menyerah, Mbak. Menyerah untuk mencari jodoh Nisa. Karena mungkin... memang tidak ada cinta itu untuk Nisa" ucapku penuh senyuman pedih, sebelum meraih remote dan kembali menghidupkan televisi. Aku ingin menghentikan pembicaraan yang sangat menyakitkan ini.
Mbak Dini menatapku penuh kesedihan. Mungkin Mbak Dini baru menyadari... betapa lukanya hatiku karena masalah jodoh ini. Hatiku... sudah terluka banyak sekali.
@@@
YOU ARE READING
KU TEMUKAN DIA DI KOREA
Roman d'amourPerjalanan seorang Perawan Tua dan seorang Idola yang bosan dengan hidupnya dalam mencari DIA.