Toilet di Belakang Sekolah

144 6 4
                                    

"Kiri, bang!"

Metromini itu berhenti. Zara turun dan buru-buru pergi setelah memberikan selembar uang ke kondektur.

"Kembaliannya neng!"

Teriakan kondektur metromini sama sekali tidak di pedulikan Zara. Nyawanya lebih penting dibanding uang kembalian. Zara tidak mau jadi korban jalan jongkok Pak Ripto yang kumisnya lebih seram dari kumis Pak Raden.

Zara melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada 10 menit. Seharusnya cukup untuk sampai ke gerbang SMA Pelita. Tapi Zara sama sekali tidak menyangka kalau jalan dari halte terdekat ke SMA nya cukup jauh juga.

Zara mengutuki dirinya yang semalam begadang nonton drama korea padahal dia jelas tahu kalau besok itu hari senin. Jadilah Zara bangun kesiangan dan ditinggal Ayahnya berangkat kerja. Terpaksa dia naik angkutan umum karena Ibu juga tidak mau mengantar.

"Kamu itu sudah dewasa, Zara, harus bisa mengatur waktu." Kata Ibu.

Padahal Zara belum 17 tahun, belum punya KTP, dan itu artinya dia belum dewasa. Iya, kan?

Zara mempercepat larinya saat melihat gerbang SMA Pelita. Gerbangnya masih terbuka sedikit. Pak Ripto berdiri di depan gerbang dengan penggaris kayu di tangannya. Zara bergidik.

"Cepat! Ayo cepat!"

Zara dan siswa SMA Pelita lain yang baru datang berlarian masuk ke gerbang saat mendengar teriakan Pak Ripto. Zara memelankan lari nya saat sudah melewati Pak Ripto dan gerbang mautnya. Nafasnya tak beraturan. Ia benar-benar lelah.

"Mbak yang itu!"

Zara kaget. Dia menoleh ke belakang dan melihat Pak Ripto mengacungkan penggaris kayu ke arahnya.

"Kok malah nyantai gitu, tho?! Lari!"

"Iya, Pak."

Zara berlari. Dan saat kakinya berhasil sampai ke kelasnya. Zara menghela nafas lega. Kali ini Zara selamat.

***

...atau tidak.

Zara mengaduk-aduk isi tas nya. Topi abu sekolahnya lupa ia bawa. Kenapa dia harus sesial ini?

"Kamu pura-pura sakit aja, Ra." Ucap Alifah mencoba memberi saran.

"Kalau ketahuan bohong gimana?"

"Enggak ih! Muka kamu juga pucet gitu, kayak beneran sakit. Harusnya kamu bersyukur karena tadi disuruh lari-larian sama Pak Ripto."

Kalimat terakhir dari Alifah membuat Zara tertawa kecil.

"Iya udah, deh." Ucap Zara akhirnya.

Alifah pun mengantar Zara ke UKS lebih dulu sebelum kemudian menuju lapangan upacara.

Berdiri di barisan khusus karena tidak memakai atribut lengkap sebenarnya tidak masalah bagi Zara. Yang jadi masalah adalah setelah upacara selesai, nama mereka akan di catat satu persatu. Zara jelas tidak mau mengotori catatan guru Bimbingan Konselling dengan namanya.

"Aku tinggal bentar ya, Ra. Gak apa-apa kan?"

Zara yang masih duduk diranjang menoleh saat mendengar suara Ratna, teman satu ekstrakurikulernya yang hari ini mendapat giliran jaga UKS.

"Iya, Rat. Santai saja."

Ratna pun keluar dari ruang UKS setelah meminta Zara untuk istirahat.
Tadinya saat Alifah membawa Zara ke UKS, Ratna sedikit tidak percaya. Karena sepengetahuannya, Zara bukan seorang yang mudah sakit. Tapi untungnya dia percaya juga karena wajah pucat Zara. Dan pagi ini, Zara selamat untuk kedua kalinya.

MémoireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang