Persimpangan Takdir

109 14 2
                                    

Hwang Minhyun menapaki jalanan yang riuh. Ia merapatkan mantel panjang abu-abunya. Mengusir hinggapan angin musim dingin yang menusuk kulit. Kedua telapak tangannya tergelung rapat di saku mantel. Sesekali keluar membetulkan letak tas tanselnya.

Mata lelahnya nampak merah dengan semburat hitam di bagian bawah. Sudah tiga hari ini dia begadang. Bolak balik ke perpustakaan, kampus, dan flat. Tahun ketiganya di bangku perkuliahan dipenuhi oleh tugas, presentasi, analisis pasar, dan hal lain yang menyita waktunya. Dan Senin depan adalah tenggat untuk mengumpulkan esai tentang perkembangan sistem perekonomian di dunia barat.
Tugas yang membuat kelimpungan akhir-akhir ini.

Udara musim dingin benar-benar menyerang pria kurus itu habis-habiasan. Bibir tipisnya sudah serasa membeku. Ujung jari dan hidungnya sudah seperti mati rasa. Minhyun mempercepat langkahnya.
Sodoran promosi dari pelayan toko di sepanjang jalan tak menarik perhatiannya. Pun sorot lampu malam yang menandakan kehidupan si kota ini. Deru mesin kendaraan masih sibuk bersahutan memenuhi aspal, tak peduli meski matahari telah pulang. Pohon-pohon yang tinggal batangnya berbaris rapi di kanan kiri jalan. Masih tegak menunggu musim semi datang.

Flatnya sudah tidak jauh lagi. Tapi langkah Minhyun berbelok di salah satu restoran ayam goreng. Ia masih merasakan jeritan perutnya yang ia abaikan sedari tadi. Ini pertama kalinya ia memasuki restoran langganannya itu. Biasanya ia memesan lewat telepon dan jasa delivery akan mengantar pesanannya sampai rumah.

Rasa hangat langsung menyelimuti Minhyun begitu dia melewati pintu masuk restoran. Telinganya seketika menangkap irama lagu kekinian yang memenuhi ruangan. Beberapa tanaman hijau dalam pot besar diletakkan di pojok ruangan. Aroma khas ayam goreng yang sedang dimasak mendominasi ruang itu. Meja pemesanan dan kasir berhadapan dengan pintu masuk. Di atasnya sebuah papan bertuliskan menu lengkap dengan harganya disorot lampu dari bagian dalamnya.

Minhyun langsung menuju meja pemesanan, melewati meja-meja kosong yang disediakan untuk pembeli. Nampaknya orang-orang sepakat menghabiskan malam minggunya di rumah dari pada berperang melawan hawa dingin malam ini.

Hanya ada dua orang di antrian. Seorang laki-laki paruh baya berbadan tambun dan wanita berusia tiga puluh tahunan bermantel hitam. Keduanya berdiri di antrian yang berbeda. Di balik meja, seorang  wanita berseragam coklat melayani pesanan laki-laki tambun sambil sesekali tersenyum ramah. Tak tampak pelayan yang melayani pelanggan wanita. Sepertinya masih mengambilkan pesanannya.

Minhyun berdiri di belakang pria paruh baya. Ia melonggarkan syal hitam yang melilit lehernya. Memberi ruang lebih pada tenggorokannya untuk bernafas. Matanya belum lepas dari daftar menu di atas meja pemesanan. Ia ingin memilih menu yang berbeda dari yang biasa dipesannya.

"Terimakasih. Silahkan datang kembali" sapaan ramah menelusup pendengaran. Minhyun menoleh ke arah suara. Matanya mendelik tak percaya   begitu menangkap pemilik suara itu. Seorang wanita muda menggunakan kemeja warna coklat, seragam restoran ini, tersenyum hangat pada wanita bermantel hitam di antrian sebelahnya sambil menyerahkan kantong plastik berisi sekotak ayam goreng. Entah sejak kapan pelayan berambut sebahu itu muncul. Minhyun tak menyadarinya.

Setelah transaksi usai, si pelanggan pergi. Menyisakan pelayan yang menunduk serius, memasukkan beberapa lambar uang pada laci kasir.

Ragu-ragu Minhyun mendekati gadis itu. Menatap wajahnya yang masih menunduk penuh penasaran. Wajah yang menjadi bagian hari-harinya di bangku sekolah.

Minhyun tak yakin bahwa pelayan dihapannya kini dan gadis di masa lalunya adalah orang yang sama. Menjadi pelayan restoran ayam bukanlah sesuatu yang akan dilakukan gadis yang dikenalnya. Walaupun bukan konglomerat, tak ada alasan ekonomi yang mengharuskan gadis itu terjebak dibalik meja pemesanan. Lagipula bukankah seharusnya ia disibukkan dengan kuliah arsitektur seperti kabar yang selama ini Minhyun dengar? Atau mungkin tiga tahun belakangan ini memang banyak hal yang terjadi pada kehidupan gadis itu? Kalaupun benar, betapa buruknya Minhyun yang tak berada disampingnya saat gadis itu butuh tempat bersandar?

Di sisi lain tiap wajah dan postur tubuh itu persis seperti yang Minhyun ingat tiga tahun lalu. Hanya rambutnya jadi lebih pendek dari pada saat terakhir kali mereka bertemu. Ketika mereka foto berdua di hari kelulusan SMAnya.

Seketika memori lama berhamburan memenuhi ingatan Minhyun. Rambut coklat panjang yang tertiup angin saat mereka duduk di taman sekolah. Iris coklat yang menatapnya bahagia saat berbicara. Langkah yang mengejarnya saat bermain basket bersama. Bulu mata lentik yang nampak jelas saat pemiliknya tertidur di perpustakaan sekolah. Senyum tulus yang sampai sekarang selalu ia rindukan. Hal yang paling membekas ialah ekspresi kesedihan dan tangis di pertemuan terakhir mereka tiga tahun lalu. Ketika keduanya harus rela memilih jalan masing-masing, tak bisa lagi melangkah bersama karena takdir pilihan   mereka menuju arah yang berbeda.

"Ini kenyaannya. Tak ada aku di jalan takdirmu dan tak ada dirimu di dalam takdirku. " Minhyun masih mengingat jelas kata-kata terakhir gadis itu. Siapa sangka dua jalan yang besar beda itu bertemu di persimpangan seperti ini.

"Selamat da.." gadis itu mengangkat kepala. sambutan ramah khas pelayan testorannya terputus tatkala menyadari sosok yang ada di hadapannya. Raut mukanya berubah. Sorot matanya sulit diartikan. Seperti ada kekecewaan dan kerinduan yang menyeruak bersamaan.

Melihat reaksi pelayan itu Minhyun menjadi yakin bahwa ia tidak salah kenal. Rasanya ia ingin menarik tubuh gadis itu dalam pelukannya. Menyalurkan ribuan rasa yang tak terurai di hatinya.

Minhyun sekuat tenaga menahan perasaannya yang sedang meluap-luap. Menyimpan rapat pertanyaan-pertanyaan yang terus bermunculan di kepalanya. Setelah hampir tiga tahun terlewati, sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas masa lalu. Minhyun menarik kefua ujung bibir pucatnya, berusaha memberikan senyum terbaiknya "Long time no see you..., Oh Hayoung"

-fin-

MenyapamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang