Kita

121 13 3
                                    

Suara lembut seorang penyanyi wanita dari pengeras suara sayup-sayup bersimfoni dengan denting peralatan makan yang saling beradu. Aroma rempah-rempah mendominasi tiap sudut ruangan. Deretan meja yang dikelilingi kursi kayu penuh penghuni meski gelap telah menutup senja, hampir tak ada yang kosong. Semuanya tampak asik dengan hidangan dihadapannya. Sebagian bercengkrama bersama kawan makannya. Seolah tak peduli pada keramaian kendaraan di balik jendela kaca restoran. Bahkan langkah lebar Minhyun yang menerobos pintu restoran tak menarik sama sekali.

Tak menghiraukan keacuhan pelanggan di restoran itu, Minhyun melewati beberapa deret meja dengan terburu-buru. Membiarkan tas selempang hitamnya terayun-ayun seirama derap kakinya. Ia menghampiri Hayoung yang sudah duduk cantik di salah satu bangku restoran. Masih lengkap dengan kostum kerja, kemeja putih dan setelan blazer mocca, yang  melekat di tubuh gadis itu. Rambut hitam sebahunya terselip di belakang telinga. Mencegahnya bergerak liar ke mata atau mulut pemiliknya.

"Maaf terlambat" tanpa permisi pantat Minhyun sudah mendarat pada bangku di hadapan Hayoung. Menyita senyum gadis yang sedang membantu pelayan menaruh minuman yang telah dipesannya.

"Aku juga belum lama. Mana Jingyu dan Hyein?" sahut Hayoung sambil mendorong segelas teh gingseng panas dihadapan Minhyun. Disambut senang hati oleh tangan kanan Minhyun.

"Sepertinya mereka tak akan datang. Peperangan dimulai lagi" tebak Minhyun sambil  memindahkan sebagian isi gelas pemberian Hayoung ke dalam mulut secara perlahan.
Menyebabkan seteguk cairan teh yang disesapnya mengalir hangat ke dalam tubuh. Merontokkan lelah yang terkumpul seharian sebab tumpukan berkas proyek yang tak ada habisnya.

Hayoung merengut kesal. Rasanya ia sudah bosan mendengar kisah pertengkaran sejoli itu. "Apa lagi sekarang?" Tanyanya setengah hati. Seperti formalitas yang tak bisa ditinggalkan setiap mendengar konflik pasangan itu.

Pelayan restoran datang menyela percakapan mereka dengan membawa dua mangkuk sup ayam yang telah dipesan Hayoung. Tak lupa acar, kimchi, dan beberapa jenis saus sebagai pelengkap. Hayoung menyusun makanan itu sehingga seluruhnya muat di meja.

Minhyun seolah tak sabar menerkam masakan khas Korea itu. Dia melepas kancing lengan kemeja abu-abunya lalu menggulungnya rapi hingga bawah siku. Matanya tak lepas dari makanan yang satu persatu tersusun rapi didepannya. Dilonggakan dasi panjang motif garis dari kerahnya kemudian ia buka tautan kancing kemejanya yang paling atas hingga memberikan ruang lebih bagi leher putihnya yang maskulin.

Seperginya pelayan muda, Minhyun meraih sepasang sumpit dan sendok dari dalam kotak di salah satu sisi meja. Ia mengulurkan kepada Hayoung sebelum mengambil untuk dirinya sendiri. Lalu mengajak kedua benda itu mengeksplorasi isi wadah di atas meja. Tak perlu perintah untuk melenyapkan makanan-makanan itu dari wadahnya.

Tak jauh berbeda dari sahabatnya, Hayoung dengan lahap menikmati tiap suapan yang memenuhi rongga mulutnya. Hingga pipinya menggembung dan giginya sulit mengunyah. Hayoung sudah terlanjur nyaman dengan Minhyun. Sampai tak perduli stereotipe masyarakat tentang wanita anggun dan kalem.

Tanpa disadari Minhyun menyeringai kecil melihat tingkah Hayoung. Ia sama sekali tak risih. Bersantap bersama Hayoung yang selalu lahap malah menambah selera makannya. Sebab makanan apapun yang gadis itu makan menjadi tampak menggiurkan. Minhyun tergerak ketika menyadari ada sisa kuah kimchi di sudut bibir Hayoung. Dengan sigap ia menarik selembar tisu dari kotak putih yang tersedia di atas meja lalu mencondongkan tubuhnya hingga tisu di tangannya sudah merapat ke ujung bibir pengacara muda itu. Namun ia urungkan. Minhyun tidak sanggup merasakan gugup yang tiba-tiba merasukinya. Akhirnya ia menyodorkan tisu itu pada Hayoung yang sibuk mengoyak sayap ayam di mangkuknya.

Leher Hayoung tertegak tatkala matanya menangkap sekelebat bayangan yang muncul tepat di depan mukanya. Matanya mendelik, menemukan tangan Minhyun tengah menyodorkan lembaran tisu padanya. "Apa?" Ia menerima tisu dari Minhyun penuh tanya.

MenyapamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang