Marriage: 14 Weeks

758 58 9
                                    

2017 © Little Tale Created by IRISH

standart disclaimer applied

' ada yang tidak orang-orang tahu tentang sebuah pernikahan, yaitu apa yang akan dihadapi setelah pernikahan tersebut dijalani '

♫ ♪ ♫ ♪

In Author's Eyes...

Banyak orang menganggap remeh sebuah pernikahan. Sebagian besar, menganggapnya sebagai momok yang kerapkali dihindari hingga usia meninggi dan akhirnya menikah jadi suatu keharusan.

Bagi Jongin dan Seulgi, pernikahan adalah sebuah penyatuan janji yang mereka lakukan dengan terlalu terburu-buru. Usia mereka masih sembilan belas tahun, saat mereka putuskan untuk menjadi sepasang suami istri.

Seulgi baru lulus sekolah kala itu, begitu pula dengan Jongin. Masa depan mereka sama-sama belum jelas saat keduanya berdiri di altar, mengucap janji sehidup semati di depan semua orang.

Belum lagi, mereka tidak benar-benar mendapatkan restu dari kedua orang tua masing-masingnya. Bagi orang tua Seulgi, Jongin adalah seorang pemuda urakan yang merenggut kebahagiaan masa remaja putri sulungnya. Dan bagi orang tua Jongin, Seulgi adalah gadis perusak masa depan Jongin.

Tapi mereka sama-sama tidak peduli. Mereka punya cinta untuk dibagi, mereka punya kasih untuk saling melindungi, dan setidaknya... mereka sama-sama bahagia. Sayang, tidak semua orang berpikir kalau mereka bahagia.

"Ini sudah tahun kedua sejak kau dan Seulgi menikah, tapi kalian tidak juga mendapat seorang keturunan. Ibu sudah katakan kalau dia itu bukan wanita baik-baik. Ada yang aneh dengannya. Kalau tidak, mengapa dia tidak kunjung hamil?"

Hari minggu jadi satu-satunya hari yang Jongin luangkan bersama dengan keluarganya, tanpa Seulgi, tentu saja, karena keluarga kecil Jongin tampak enggan menerima kehadiran wanita-nya itu.

"Kami memang belum merencanakannya." Jongin berucap setelah terdiam beberapa saat.

Alasan klise, tentu saja. Karena sebenarnya dia dan Seulgi sudah sama-sama menginginkan kehadiran seorang bayi juga.

"Nah, lalu untuk apa kalian menikah di usia muda?" pertanyaan berikutnya menohok Jongin. Bukannya dia menyesal karena telah memutuskan untuk menikahi Seulgi daripada masuk ke universitas, tapi dia pikir sekarang dia telah salah berargumen.

"Urusan rumah tanggaku biar aku yang mengurusnya, Bu." setenang mungkin Jongin berusaha menenangkan kekacauan yang juga dihadapinya.

Sudah berulang kali Seulgi terlambat datang bulan, belasan test-pack juga sudah dibelinya, tapi hasilnya nihil. Jongin beberapa kali harus menahan kesedihan karena melihat Seulgi yang menangis lantaran satu garis tegas yang test-pack pamerkan padanya.

Seulgi tidak bahagia, Jongin tahu itu. Mungkin, Seulgi pikir dirinya tidak sempurna lagi di mata Jongin karena kekurangannya, tapi Jongin tahu, dia hanya perlu bersabar.

"Kau bicara seolah bisa mengurus rumah tanggamu saja. Untuk mencari pekerjaan saja kau sudah kesulitan. Coba saja kau tidak menikah dengan gadis itu, sekarang kau pasti sudah bersiap-siap jadi seorang sarjana."

Tidak. Bukan itu yang Jongin inginkan. Apa gunanya menjadi sarjana jika Seulgi tidak ada di sisinya?

"Kakakmu temukan satu bangku kosong di universitasnya. Pergilah daftarkan dirimu dan tempuh pendidikan lagi. Ibu dan Ayah yang akan mengurus semua biayanya. Kau bahkan tidak harus susah-susah mengurangi uang yang kau sisihkan untuk memberi makan istrimu."

Rahang Jongin kini terkatup rapat. Dia ingin marah, tapi berdebat dengan kedua orang tuanya tidak akan membuatnya memenangkan apapun selain pulang dengan kemarahan yang masih tersisa.

MARRIAGE [finished]Where stories live. Discover now