2017 © Little Tale Created by IRISH
standart disclaimer applied
' Hidup itu kadangkala seperti panggung sandiwara yang penuh dengan elegi. Terus menerus ditaburi kesedihan padahal pemeran di atas panggung sudah enggan menangis. '
♫ ♪ ♫ ♪
In Author's Eyes...
Jongin tidak pernah suka menghitung waktu. Baginya, tiap hari yang berganti adalah bagian dari kehidupan monoton yang harus ia jalani tanpa harus berpikir tentang apa yang akan terjadi di hari esok, atau esoknya lagi. Tidak pernah juga dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi di hari kemarin, atau kemarinnya lagi.
Tapi beberapa bulan terakhir, Jongin seperti sibuk menghitung waktu. Tiap hari dianggapnya sebagai penambahan usia lantaran ia tahu bahwa tidak lama lagi, statusnya tidak lagi hanya jadi seorang suami dari Kang Seulgi, tapi juga seorang ayah.
Demi Seulgi, Jongin sudah mengorbankan banyak hal. Baginya, menjadi seorang suami yang siaga adalah keharusan sekarang. Mengingat bahwa Seulgi selama berbulan-bulan ini enggan keluar dari rumah bahkan untuk sekedar memeriksakan kehamilannya, Jongin merasa bahwa dia lah yang paling bertanggung jawab penuh atas kesehatan Seulgi.
Heran juga, mengapa Seulgi tiba-tiba merasa enggan untuk berhadapan dengan paramedis? Seingat Jongin, Seulgi tidak pernah punya ketakutan apapun pada paramedis, atau rumah sakit.
Sekarang, melihat iklan-iklan berbau kesehatan di televisi saja Seulgi sudah bergidik ngeri. Catat, Seulgi hanya datang satu kali ke klinik kesehatan yang ada di dekat rumah mereka, saat wanita itu ingin mengetahui kepastian tentang kehamilannya beberapa bulan lalu.
Ah, jangan tanya bagaimana Jongin bisa tahu tentang itu. Sudah dikatakan kalau Jongin banyak berkorban untuk istri tercintanya itu? Sejak dia diterima masuk di fakultas teknik tempat saudaranya mengajar, Jongin hampir tidak punya waktu istirahat.
Tiap pagi dia bangun untuk memasak sarapan—hal yang diminta Seulgi di awal kehamilannya—dan kemudian berangkat ke universitas dengan menaiki bus. Jongin bahkan memutuskan untuk tidak tinggal di asrama sebab ia begitu khawatir pada Seulgi.
"Apa yang kau pikirkan, Jongin-ah?" vokal Seulgi terdengar membuyarkan lamunan Jongin. Tanpa sadar, pria itu sibuk menghitung berapa hari lagi yang harus ia lewati sampai ia bisa mendengar suara tangis seorang bayi di rumah kecil mereka, dan menjadi keluarga yang benar-benar bahagia.
"Tidak, aku hanya sedang memikirkan tentang nama bayi kita nanti." Jongin menyahut.
Keduanya, sekarang tengah duduk di sofa ruang tengah rumah mereka. J0ngin duduk bersandar di sofa, sementara Seulgi membaringkan diri di pangkuan pria itu dengan sebuah buku tentang kehamilan ada di tangan.
"Hmm..." Seulgi menggumam, diletakkannya buku tersebut di atas dada, sementara ia menatap Jongin yang masih memandang kosong.
"Bagaimana dengan Hee-soo?" tanya Seulgi.
"Hee-soo?" Jongin mengulang, alis pria itu menyernyit saat mendengar nama yang Seulgi utarakan. Seingat Jongin, Seulgi adalah seorang konservatif yang cenderung suka menggabung-gabungkan nama.
Sempat dia berpikir kalau Seulgi mungkin akan menggabungkan nama mereka berdua, atau sejenisnya.
"Kenapa Hee-soo?" tanya Jongin karena Seulgi tidak kunjung menjawab.
"Hee-soo berarti kebahagiaan. Bagiku, kehadiran seorang bayi setelah kita hidup bersama selama bertahun-tahun rasanya seperti keajaiban yang turun dari langit. Aku sangat bahagia karenanya, sampai kupikir aku mungkin bisa mati tiba-tiba karena terlalu bahagia.
YOU ARE READING
MARRIAGE [finished]
General FictionKata siapa kehidupan pernikahan-terutama kehamilan-itu mudah? . . . [warning: Kai-Seulgi di sini, yang enggak suka enggak usah dibaca] Cerita pendek yang menggambarkan bagaimana beratnya kehidupan pernikahan itu. Enggak melulu pernikahan itu pamer r...