Prolog

351 42 46
                                    

"Ibu besok mau ya ngisi materi motivasi untuk calon Maba?" Naraya Pradita Nareswari atau yang biasa disapa Raya ini mengangguk menerima permintaan mahasiswinya. Dari sekian banyak dosen yang mengajar di Millenium University, dia termasuk salah satu yang terpilih. Tentu ia patut berbangga diri, mengingat statusnya yang masih baru sebagai tenaga pengajar di kampus elite tersebut.

Dosen cantik ini lantas melangkahkan kaki keluar kelas setelah urusannya dengan sang Mahasiswi selesai. Niat awalnya ingin menuju ruang dosen namun baru beberapa langkah, seseorang memanggil.

"Bu Raya!" Raya menoleh dan mendapati satu orang mahasiswa tengah berjalan ke arahnya dengan langkah terburu-buru.

"Ya, ada apa?" sahut Raya ramah.

"Ibu ... dosen Fikom kan? Untuk mata kuliah Manajemen Perusahaan Media Masa?" tanya lelaki bertubuh tinggi dan berkulit coklat tersebut. Raya mengangguk. "Kita belum kenalan, Bu. Nama saya Arsakha Vinendra. Cukup panggil Sakha aja. Kebetulan saya juga anak Fikom, dan semester ini kita akan sering ketemu di kelas." Sakha tersenyum sembari mengulurkan tangannya.

Raya tersenyum membalas uluran tangan Sakha. "Raya."

"Bu, saya mau nanya. Tapi tolong ini dijawab dengan jujur. Karena ini demi masa depan saya nantinya." Raya memperhatikan sang Mahasiswa dengan tatapan serius.

"Oke. Kamu mau nanya apa?" tanya Raya sabar.

"Ibu sudah menikah?" tanya Sakha to the point.

Raya menggeleng. "Belum," jawabnya santai. Baginya pertanyaan seputar status pernikahan bukanlah hal yang mengganggu. Tak perlu dibuat pusing apalagi baper. Toh ia juga masih belum  memiliki rencana ke arah sana dalam waktu dekat.

"Alhamdulillah." Sakha mengucapkan itu dengan penuh rasa syukur sembari mengelus-ngelus dada sebagai tanda lega. "Ada pacar?" tanya pemuda berusia dua puluh tahun itu.

Raya menggeleng, lagi.

"Ya Allah, Alhamdulillah." Dia menengadahkan tangan dengan bola mata yang mengarah ke atas, sebagai bentuk ucapan syukur. "Gebetan nggak punya kan, Bu?" tanya Sakha cuek, tak ada rasa takut sama sekali jika dosennya ini akan tersinggung, marah atau bahkan memecatnya sebagai mahasiswa.  

Raya memandang lelaki muda di hadapannya ini dengan tatapan aneh.

"Pertanyaan terakhir nggak usah dijawab, Bu. Saya udah memutuskan, mulai hari ini Ibu adalah satu-satunya wanita yang akan saya perjuangkan dihidup saya," kata Sakha tersenyum semanis mungkin.

"Hah?" Wajar Raya terkejut. Ia baru pertama kali melihat Sakha dan tiba-tiba lelaki ini mengatakan hal demikian.

"Saya mau nganter ibu sebenernya. Tapi saya inget, hari ini saya naik ojek online. Besok saya anter ya, Bu. Ibu modal helm sendiri dulu ya. Saya belum beli soalnya."

Dalam hati Raya tertawa. Mimpi apa dia ketemu orang gila.

"Saya pulang dulu ya, Bu. Sampe ketemu besok lagi." Sakha bersiap-siap membalikkan badan namun tertahan oleh Raya yang tiba-tiba teringat sesuatu.

"Besok jadwal kuliah belum dimulai," ucap Raya mengingatkan, dia takut mahasiswanya ini lupa jadwalnya sendiri.

Lagi-lagi Sakha tersenyum semanis mungkin. "Buat Ibu setiap hari saya ada-adain kelasnya. Permisi, Bu. Assalamualaikum."

Raya tertawa. "Wa'alaikumsalam."

Raya memperhatikan kepergian Sakha dengan gelengan kepala. Dia tak pernah tahu bahwa sejak hari itu, hari-harinya tak akan pernah lagi sama.

👩‍🏫

Hallo, akhirnya aku memutuskan untuk nerusin cerita ini lagi setelah "Dua Tahun Lagi," selesai.

Jadi, cerita ini sebetulnya udah pernah aku posting di akun millenium_author. Nah, nanti untuk selanjutnya aku bakalan posting di dua tempat sekaligus, di millenium_author juga di sini ya. Biar akun ku juga nggak berdebu karena nggak posting apa-apa.

Cerita ini tuh ringan banget dan kayaknya nggak bakalan panjang juga partnya.

Jadi, kira-kira gimana? Yess or no untuk lanjut?

See you next chapter ya ...

Jakarta, 21 Juni 2021 (tanggal yang bagus untuk memulai kan? 🤣🤣)

NascentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang