Suara mobil yang tiba-tiba berhenti, terdengar tepat di depan rumah Raya. Ia melongokkan kepala melihat siapa yang datang. Ternyata Giska, teman satu rumahnya, sahabat yang ia kenal sejak masa sekolah.
Mereka dulu satu kelas, bahkan duduk berdua. Namun ketika kuliah, keduanya memilih jurusan yang berbeda. Giska menjadi anak ekonomi dan diterima bekerja di salah satu perkantoran bilangan Jakarta. Sedangkan Raya yang menyukai ilmu komunikasi, memilih mengabdikan diri menjadi tenaga pendidik di usia yang masih terbilang muda.
Jarak rumah yang jauh dari tempat bekerja, memaksa keduanya menyewa rumah untuk ditinggali bersama. Mereka berbagi banyak hal, mulai dari makanan, minuman, pakaian bahkan barang yang menjadi kesukaan. Hanya satu yang tak akan pernah mereka bagi satu sama lain, soal pasangan. Giska terkenal sering bergonta ganti pacar. Sedangkan Raya masih setia dengan kesendirian.
Tak jarang Giska berusaha mengenalkan Raya dengan teman-teman yang ia kenal, namun itu semua ditolak Raya. Wanita dua puluh tujuh tahun ini tak suka ajang perjodohan. Dia masih percaya akan adanya cinta pada pandangan pertama. Tak peduli jika prinsipnya itu seringkali menjadi bahan tertawaan.
"Itu siapa? Baru lagi?" tanya Raya ketika Giska baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu.
"Iya dong," jawab Giska dengan bersemangat. Wanita berambut sebahu ini selalu bangga akan prestasinya dalam hal asmara.
"Kenal dari mana?" tanya Raya lagi, mirip ibu-ibu posesif yang tak rela anak perempuannya diantar pulang oleh seorang pria.
"Temen sekantor." Giska menjawab itu sembari melepas high heelsnya. Lalu ia berjalan santai menuju dapur, diikuti Raya yang ada di belakang.
"Lagi?" Raya hampir tak percaya jika sahabatnya ini membawa laki-laki yang berbeda setelah satu minggu yang lalu menyaksikan kegalauan Giska karena putus cinta.
Giska mengembuskan napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan. "Lo nggak pernah baca kalo kemungkinan jodoh itu datengnya dari ruang lingkup kita sendiri? Kayak gue... kerja kantoran, ya dapetnya temen sekantor. Kayak lo, dosen. Dapetnya bisa jadi dosen atau mahasiswa lo yang masih kinyis-kinyis itu."
Mendengar kata 'mahasiswa,' Raya jadi horor sendiri. Dan satu wajah pun terlintas begitu saja. Siapa lagi kalo bukan si wajah tengil satu itu, Sakha.
Dunia sepertinya akan runtuh jika ucapan Giska menjadi kenyataan. Dia dan Sakha bersama? Demi apapun, tak pernah ada niat dalam hatinya untuk menikah dengan lelaki yang usianya jauh berada di bawahnya.
Raya bukannya asal menghakimi pria-pria berondong tersebut. Tapi karena pengalaman pahit di masa lalu, sejak saat itu ia tak mau mengambil risiko. Cukup sekali dan tak mau terulang lagi.
"Nggaklah. Jangan sampe ruang lingkup gue sendiri. Kan lo tau, gue nggak suka berondong," elak Raya, jujur apa adanya.
"Kan masih banyak dosen laen. Kayak pak Teguh, trus Pak Alan si dekan ganteng." Giska nampak mengingat-ingat nama rekan kerja Raya yang mungkin saja bisa menjadi daftar calon gebetan Raya selanjutnya.
Raya bergidik ngeri membayangkan Pak Teguh. Pria paruh baya itu lebih pantas menjadi ayahnya daripada partner berbagi cinta.
Raya memang tak menyukai berondong, tapi bukan berarti ia harus menyukai lelaki yang usianya jauh di atasnya kan?
Lalu, Pak Alan? Dekan satu itu memang tampan, tapi tak masuk kriteria Raya, entah kenapa.
"Nggak deh kalo dua orang itu sih," sahut Raya lugas.
"Duh susah ya. Lo, gue kenalin ke temen kantor juga nggak mau," cibir Giska mulai menyerah. Mengapa Raya tak bisa seperti dirinya yang mudah dekat dengan banyak pria, bahkan dalam kurun waktu yang bersamaan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nascent
RomanceAmazing Cover by @prlstuvwxyz Naraya Pradita Nareswari, dosen cantik yang selalu diidolakan Sakha, si mahasiswa kocak yang percaya bahwa Raya adalah jodoh terbaik yang dikirimkan Tuhan untuknya. Raya tak menyukai brondong tapi Sakha terus mengejar...