Prolog : Mimpi yang Sama

32 8 4
                                    

Percikan air yang tersibak hentakan kaki kaki kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Percikan air yang tersibak hentakan kaki kaki kecil. Menyeruak di tengah hujan yang mulai mereda. Hanya menyisakan gerimis yang terlalu ringan untuk disebut gerimis. Sedang buliran air dengan sabar menunggu gilirannya untuk jatuh pada ujung-ujung daun yang mengkilap.

Saat itu enam remaja yang berusia sekitar 15-17 tahun yang berjalan berurutan sesekali berhenti saat menemukan air yang tergenang. Lalu menenggelamkan kaki mereka didalamnya. Dengan bermantel lengkap dan masing-masing membawa sebuah kotak kayu kecil, mereka tengah menuju suatu tempat yang tak asing.

Tak butuh waktu lama, sebuah pondokan terbuka dengan pernis yang masih mengkilap, menyambut kedatangan sahabat-sahabat kecil yang rutin mengunjunginya. Tamu kesayangan itu mulai menempatkan diri mereka di posisi masing-masing. Seolah telah ditentukan siapa saja pemilik setiap sudut di tempat itu.

Tak berselang lama, mulailah mereka membuka bawaan mereka dan mengeluarkan isinya satu per satu.

"Kamu bawa apa untukku Dan?" Tanya Syita, seorang gadis dengan senyum khasnya. Ketika ia tersenyum, sebuah gigi gingsul akan terlihat menempel di bagian gusi sebelah kanan atas.

"Ah benar-benar sulit untuk mendapatkan sesuatu sebagus ini!" Canda Danu.

"Baiklah, jadi kamu gak rela kalau itu jadi milikku?" Dengus Syita lalu memalingkan muka.

"Sudahlah Ta, Danu cuma bercanda. Dan Danu, ayo cepat minta maaf! Jangan kacaukan hari ini!" Seru Ari yang paling dewasa menengahi.

"Kebiasaan nih dua bocah, gimana acara ini asik coba kalau ratunya ngambek?" Celetuk Bondan dengan logat Betawinya yang khas.

"Kan aku juga bercanda Ta, biasanya juga gitu. Maaf ya? Ini!" Danu menyerahkan benda itu dengan sedikit tertawa. Heran dengan sikap Syita yang masih sama sejak mereka bertemu dan saling akrab saat pindah ke pemukiman yang sama.

"Wah, itu apa Dan? Itu bisa dimakan ya?" Tanya Irene dengan mata berkilau melihat benda seperti coklat di hadapannya.

"Ih, sembarangan! Ini bukan makanan tau!" Sungut Danu.

"Aduh Ren, ini itu tanah liat, kalau mau lebih yakin. Coba jilat deh!" Raline yang sedari tadi serius menyiapkan sesuatu menyahut sambil menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku teman-temannya itu.

"Ta, coba dilihat donk!" Bujuk Danu.

"Ooo, ini beneran buat aku Dan? Cantik banget bonekanya, eh ada 2 lagi! Kamu cari tanah ini dimana? Kan susah carinya di tempat kita." Kesal Syita buyar diganti oleh rasa antusias karena mendapat 2 boneka tanah liat yang berbentuk peri kecil kembar. Yang satu memakai hiasan kepala berupa bunga Krisan. Dan yang lain memakai kalung benang berliontin biji bunga matahari yang dikeringkan.

"Dia emang jago kalo bikin gituan kali." Timpal Ari menuturkan senyum bangga Danu.

"Ini dimakan dulu semua! Nanti keburu dimakan tikus sawah!" Perintah Raline seperti ibu mereka.

"Baik ibu...!" Seru mereka memanggil Raline dengan sebutan yang sama.

"Kali ini, lu yang buat atau Ibu lu Lin?" Bondan yang biasanya tidak tertarik pada asal usul makanan yang tersaji tiba-tiba ingin tahu.

"Masih ibu, aku cuma bantu-bantu sedikit." Jelas Raline.

"Hari ini kan udah giliran Danu yang kasih kado ke Syita. Selanjutnya siapa ya?" Tiba-tiba Irene menyambung setelah menyelesaikan kue pertamanya.

"Nah, Ari lu bawa kagak botolnye?" Sambung Bondan.

"Bawalah. Masa Ari yang kece ini gak bawa hal penting si?" Celetuk Ari membuat semua anak kecuali dirinya memalingkanika. Pertanda tidak setuju dengan ke GR-annya.

"Okelah, nanti kita kocok di akhir. Dihabiskan lho kuenya, awas aja kalo sisa! Eh , Ta ayo makan! Jangan liatin kadonya terus!" Oceh Raline sontak membuat Syita mengalihkan perhatiannya pada kue yang sedari tadi diabaikannya.

"Ada cerita apa kali ini?" Suara Danu seperti menggumam karena masih mengunyah 2 kue sekaligus.

"Giliran aku kan sekarang? Tenang, aku udah dapat cerita yang oke pokoknya." Sahut Raline cepat.
Serentak anak yabg lain menangguk setuju. Karena Raline lah yang paling ahli dalam hal ini.

Saat mereka sudah hampir menyelesaikan semua agenda hari itu. Langit mendung mulai membersihkan wajahnya. Dibantu oleh terpaan angin sore yang menenangkan hati.
Gurat -gurat jingga dan merah di langit mulai terlihat. Mempesona siapapun yang memandangnya. Menggiring semua mahluk untuk pergi pulang ke rumah masing-masing.

Saat itu Raline belum selesai bercerita. Padahal cerita itu sungguh menarik. Membuat anak yang lain mengelak napas kecewa, penasaran apa akhir cerita itu.

Untuk pertemuan selanjutnya. Giliran Ari yang akan memberikan kado untuk Raline. Entah kebetulan atau memang langit telah menurunkan ketentuannya. Sehingga tidak ada seorangpun yang bisa mengelak. Ari dan Raline yang memang sama-sama dituakan mungkin akan membuat pertunjukkan yang menarik di pertemuan selanjutnya. Karena mereka memang dekat. Walaupun mereka menyangkal dan menutupinya.

Sore itu benar-benar diakhiri dengan antusiasme yang luar biasa. Rasa penasaran akan akhir cerita dari Raline hingga rasa ingin tahu kado apa yang akan diberikan Ari kepada Raline. Membuat malam anak-anak itu dihinggapi mimpi yang sama dengan jalan cerita yang sama dengan Lakon yang sama pula.
Ari dan Raline berperan besar dalam mimpi itu.

A Mirror With no ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang