Nyata dan Semu

10 2 0
                                    

Hari minggu ini Lio tidak absen mengantar udang ke Opung Zakaria.  Sehingga pagi-pagi sekali Lio Haris menyusul Ayah yang sudah terlebih dahulu pergi ke tambak.

"Ayah...!!! Panggil Lio dengan setengah berteriak sambil melambaikan tangan,  tanda meminta izin untuk mengambil udang yang ttelah terkumpul di sebuah gubuk sederhana.  Tak butuh waktu lama,  sekotak penuh udang sudah berada di boncengan belakang sepeda Lio.  Siap untuk dikirim ke Opung Zakaria.

Embun pagi yang turun dengan anggun,  membuat perjalanan Lio pagi itu diselimuti rasa dingin yang menusuk badan.  Walau sweater usang yang masih cantik menempel di tubuh Lio.

Hingga matahari mulai memunculkan senyum hangatnya.  Lio telah sampai pada jembatan kayu yang biasa ia lewati.  Disitu terlihat seseorang yang bahkan dari punggungnya bisa dikenali dengan baik oleh mata Lio.

"Pandu! Kamu ngapain disini?  Lagi olahraga pagi ya?  Pantes aja tubuh kami bagus banget.  Eh,  kok olahraganya sampai jauh banget?  Dan kamu sendirian?  Lio menyerbu Pandu dengan pertanyaan,  sambil mendekati Pandu yang masih berdiri mematung,  melihat ke arah Lio.

" Ini Pandu kan?  Temenku? " Tanya Lio memastikan.  Pandu menjawab dengan anggukan ringan lalu menyilangkan tangan ke depan dadanya.  Tanda kedinginan.

"Pandu?  Kalau abis olahraga harusnya udah panas donk?  Kok kayaknya kamu kedinginan?  Apa kamu sakit ? " Dengan cerewet Lio menanyai Pandu yang lagi-lagi masih diam.

"Kalo sakit...,  tunggu bentar,  aku... "
"Aku baik-baik aja. " Omongan Lio terpotong suara Pandu yang menyela.

"Kok kamu makin hari makin cerewet ya de?  Beda banget kaya waktu dulu pas pertama kita ketemu. " Omongan Pandu ini membuat Lio melihat ke atas sejenak,  mengingat perangainya dulu.

"Enggak,  aku emang gini.  Emang siapa yang berani ngerubah aku?  Berani banget itu orang?  Hehe..,  eh Pandu,  kamu belum jawab pertanyaan aku tadi.  Tapi ini udah siang,  aku harus nyelesein tugasku dulu.  Jadi jawabanmu di pending dulu ya.  Oke!? Dah... " Kata Lio sambil menaiki sepedanya dengan perlahan.

"Eh,  nanti aku tunggu di pondokan pinggir jalan deket kebun krisan setelah jembatan ya!? " Teriak Pandu pada Lio yang mulai jauh.

Lio berpikir sejenak sebelum menjawab.  Kenapa Pandu tahu tempat itu.  Lalu mengiyakan dengan simbol huruf O yang dibentuk jarinya.  Ia mengangkatnya tinggi-tinggi agar Pandu dapat melihat.

Melihat Lio yang mulai jauh,  Pandu tersenyum.  Lalu mengeluarkan kamera digital yang ia simpan dalam sakunya.  Ia mengabadikan setiap gerakan Lio sebelum pergi terlalu jauh dan akhirnya menghilang di pertigaan jalan kota.

Di tempat lain,  Tisha sedang berulang kali mengirim pesan singkat pada Pandu. Memastikan kesediaan temannya itu untuk bisa menemaninya sore ini untuk memilih baju untuk lomba tari.  Namun yang ia dapat hanya harapan kosong.  Pandu tidak membawa ponselnya saat itu.  Namun,  Tisya yakin Pandu orang yang selalu menepati janji.  Sehingga ia membuang rasa khawatir itu,  kemudian memutuskan berlari menari lagi untuk lomba yang semakin dekat itu.

"Udah lama nunggu? " Kata Barry lepas Andry yang telah menunggu bersama Irish.

"Belum lah baru mau 5 menit. " Kata Irish dengan nada sewot.

"Ya udeh,  baru 5 menit.  Kok mukanye pada BT gitu?" Kata Barry bingung.

"Iya. Baru 5 menit menuju 30 menit penantia! " Andri menunjukan jam tangannya kepada Barry yang melangkah mudur.

"Ye maap.  Aye kan kudu nyahok ni rambut,  biar lurus dikit. " Kata Barry santai.

"Ampun deh!  Itu rambut dicatok ngga dicatok kok sama aja? " Tawa Irish pecah.

"Udah siang nih.  Langsung cabut yuk! " Perintah Andri yang langsung diiyakan  kedua temannya itu. 

Dengan mengendarai mobil. Andri,  Barry dan Irish tengah menuju ke sebuah acara pameran di alun-alun kota. Deru mesin mobil yang dikemudikan Andri mengiringi perjalanan mereka yang diisi dengan obrolan ringan.

"Cuman bertiga nih Ri? " Tanya Irish setelah melewati monumen pahlawan dekat rumah Barry.

"Lio gak bisa,  katanya abis bantu ayahnya ada urusan lagi.  Nah kalo Pandu juga ada urusan penting,  menyangkut hobi katanya.  Lah Tisha lagi fokus latihan kan? " Perkataan Andri membuat 2 orang temanmu itu mengangguk paham.

Begitulah mereka.  Walaupun sudah bersahabat dekat, mereka tidak ingin mengekang waktu masing-masing.  Karen pastinya mereka punya urusan pribadi yang tidak ingin diganggu.

"Lama yah nunggunya?  Sorry tadi Opung minta aku bantuin dia sebentar. " Omongan Lio belum direspon Pandu,  Ia sedang melihat bayangan wajahnya di sungai kecil berair jernih di belakang pondokan.

"Kenapa?  Lagi cari ikan?  Kok serius banget?  Tanya Lio polos.

" De, apa setiap orang puny bayangan? " Tanya Pandu tiba-tiba.

"Setiap orang pasti punya. " Kata Lio,  lalu meletakan sepedanya dan mendekati Pandu dan ikut melihat ke arah sungai di samping Pandu.

"Tapi, terkadang bayangan bisa terlihat sangat nyata.  Tapi,  ada juga yang terlihat semu selamanya. " Lanjut Lio.

"Nyata? Semu? " Gumam Pandu.

"Bayangan nyata itu,  aku belum pernah sekalipun tahu tentangnya.  Tapi,  kalau bayangan semu,  aku bisa lihat dengan mudahnya.  Misalnya bayanganku di air itu an. " Sambung Lio.

"Em, gitu? " Human Panda lalu memperhatikan  Lio yang memainkan air. Membuat riskan kecil di sungai itu. 

Pandu memetik bunga krisan didekatnya,  lalu menyematkan ya pada telinga Lio.  Lio sedikit kaget saat itu.  Namun,  ia hanya membalasnya dengan senyuman lebar. 

Tak lama kemudian,  mereka beranjak dari pinggir sungai.  Mereka memilih duduk  di pondokan untuk melanjutkan obrolan.

"Kenapa kamu panggil aku " an" ,  padahal teman-teman panggil aku "ndu"? " Tanya Pandu kepada Lio yang baru duduk disampingnya.

"Bukan cuma aku,  Pak Agustus juga. " Lio menjawab dengan ringan sambil tersenyum lagi.

"Ini serius tau.  Ayo jawab! " Pinta Pandu sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

"Nah,  kamu kenapa panggil aku " De"?  Padahal yang lain panggil aku Lio?  Emangnya aku adikmu apa?  Kita kan seumuran. Hayo kenapa? " Lio balik bertanya,  kakinya bergoyang-goyang kali ini.

"Em,  gak si.  Enak aja kalo dipanggil " De". Kan nama kamu juga mengandung unsur itu.  Jadi aku salah apa? " Pandu memonyongkan mulutnya.

"Berarti jawabanku sama.  Copy paste aja hehe.. " Canda Lio lalu tertawa kecil.  Tak mau kehilangan momen itu,  Pandu mengeluarkan kameranya dengan sigap. Ia memotret Lio yang tersenyum ceria.  Dipercantik dengan bunga yang terselip di telinga ya.  Namun,  Lio tidak sadar.

Matahari mulai meninggi saat itu.  Membuat suasana panas mulai terasa.  Mungkin itu juga yang dirasakan Andri yang melihat kebersamaan Pandu dan Lio dari dalam mobil tanpa Pandu dan Lio sadari.

"Apa ini yang namanya hobi?  Ini juga yang namanya urusan penting?  Kata Andri dalam hati kemudian menghela napas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Mirror With no ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang