Chapter 1.
Burung-burung berkicau dengan begitu riang. Seolah ini adalah musim panen. Dengan begitu, mereka bisa dengan mudah mendapatkan makanan. Namun ini belum saatnya. Masih 1 bulan lagi padi-padi akan mereka dan mengeluarkan bulir keemasannya. Jadi apa yang membuat mereka begitu gembira?
Ternyata ini adalah musim kawin. Musim dimana para pejantan memperbaiki sarang mereka, berharap betina tertarik karenanya.
Rasa gembira di alam tersalur sempurna pada manusia yang hidup disekitar. Tak terkecuali pada Dandelion yang hari ini mengerjaakan rutinitasnya dengan suka cita.
Seperti biasa di hari Minggu ia akan pergi ke sungai pada saat matahari naik lalu pulang ketika matahari melenyapkan bayangan dirinya. Hal ini biasa bagi Lio, karena keluarganya memang turun temurun mencari rezeki di tempat itu. Yaitu mencari udang. Kemudian hasilnya dijual ke pasar.
Ia terbiasa dengan hal itu dari kecil hingga sekarang. Saat ibunya telah tiada. Menyisakan Dande beserta Ayah dan Neneknya. Dande yang telah menginjak remaja, tumbuh menjadi gadis yang cantik nan baik. Hanya saja ia memiliki satu kekurangan. Kekurangan itu ia dapatkan saat ia diminta oleh ayah ke pasar 7 tahun yang lalu.
Saat itu, Lio kecil tengah membawa pesanan udang opung Zakaria. Langganan ayahnya. Lio yang lelah setelah pulang sekolah memutuskan menggunakan sepeda milik ayah. Berharap ia akan lekas sampai, kemudian bisa istirahat setelahnya. Ia pun mengayuh naik turun melewati jalan berbukit dengan sisa tenaga yang masih ada. Tak ketinggalan, jembatan kayu yang menghubungkan desanya dengan kota. Menjadi saksi Lio kecil yang pekerja keras melewatinya dengan muka merah tanda kelelahan.
Setelah lebih kurang 30 menit, keramaian mulai nampak. Muka cabi Lio melukis senyum lega. Karena ia telah sampai pada tujuan.
Ditemuinya lah opung Zakaria. Tak perlu waktu lama, uang 10 ribu sebanyak 12 lembar sudah berada ditangannya. Setelah itu ia bergegas pergi meninggalkan pasar. Namun, saat mengayuh lima putaran pedal. Terasa ada yang aneh dengan Si Sepeda. Seperti ada yang mengganjal pada rantai belakang. Membuat sepeda sulit dikayuh. Hal ini membuat fokus Lio terpecah. Ia mengayuh dengan lebih sering melihat ke bagian belakang sepedanya. Sehingga ia tidak mengetahui jika seorang bapak tengah menebang pohon di sisi jalan si depan Lio.
Bapak itu sudah berteriak mengingatkan, namun Lio terlambat mengetahuinya. Lio hanya tergores sedikit karena tertimpa dahan yang cukup berat. Namun, karena ia memang dalam kondisi begitu lelah. Lio pingsan.
"Takdir memang hal yang tidak pasti bagi setiap manusia. Ia begitu menyukai hal yang mengejutkan. Dia tidak mau banyak yang mengetahui tentang keputusannya. Entah itu menyenangkan atau menyedihkan. Tapi pastilah di setiap keputusan itu. Ia sisakan sebuah pelajaran hidup yang pantas disebut KEBAIKAN."
" Jadi pada waktu inilah akan disatukan bagian kecil dari takdir Dandelion. Apakah ini sebuah takdir yang menyenangkan atau menyedihkan? Dandelion sendirilah yang memutuskan. Dan kalian juga bisa menerka sendiri. Takdir seperti apakah itu." Suara Raline saat bercerita tadi sore menggema jelas di sela-sela mimpi mereka. Membuat masing-masing anak itu menggerakkan badan di tengah lelapnya tidur.
Di malam yang panjang itu. Tangan-tangan mimipi mencengkram erat angan mereka. Membuat bunga tidur melanjutkan kisah yang sama dengan begitu nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mirror With no Reflection
Romance"Bayangan semu itu benar-benar tampak nyata. Ah bukan, ia memang bayangan itu."