Bulan, Tolong Jaga Bulanku

1.3K 60 2
                                    

Kookmin ff
.
.

All Jungkook POV

Mungkin ini terdengar konyol, tapi  mau gimana lagi, aku mencintainya. Ya mencintai sosok yang memesona itu. Oh iya, dia sering memanggilku Kookie, sedangkan ia sendiri sering dipanggil Chim, atau Park Jimin nama panjangnya. Ia adalah lelaki mungil yang sangat manis dan menggemaskan. Seorang yang selalu ceria dan ramah kepada siapapun. Jimin hidup berdua dengan Ayah nya karena sang Ibu telah meninggalkannya sejak lahir.

Aku tak tau apakah Jimin mencintaiku atau tidak. Setiap hari aku selalu ada untuknya, mendengarkan segala keluh kesahnya. Tanpa mengenal lelah, dan jangan lupakan aku yang selalu menatapnya penuh cinta. Rasaku padanya sudah tak terukur. Begitu besar. Ah! ini terdengar hiperbola sekali. Tapi itu memang benar adanya. Seolah - olah hidupku hanya untuk Park Jimin seorang.

Hingga pada saat itu, dia datang padaku dengan air mata yang bercucuran, tanpa berucap ia langsung memelukku sambil menangis tersedu - sedu. "Menangislah. Menangislah sepuasmu." ujarku dalam hati.
"Kookie, Ayah tercintaku telah tiada. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar - benar sendiri sekarang." ucapnya dengan suara serak. Sementara aku hanya diam dan membiarkannya menangis sambil terus memelukku hingga akhirnya ia lelah dan terlelap.

Semejak hari itu, dia tak pernah lagi menatapku. Apalagi berbicara padaku, Duniaku benar - benar terasa sepi tanpa suaranya yang melengking. Dia berubah sejak saat itu, dia sangat terpuruk. Tiada lagi Park Jimin dengan suara cemprengnya, tiada lagi Park Jimin yang tersenyum manis, tiada lagi Park Jimin yang ramah dan ceria. Hari - hari berwarnanya hilang sudah. Seolah - olah harinya hanya berwarna gelap dan buram. Aku merasa sedih dan kecewa. "Mengapa kau jadi sekacau ini." gumamku seraya memandangnya sedih. Turut prihatin melihat hidupnya yang kini sungguh berantakan. "Kau masih punya aku Chim. Kumohon jangan bersedih lagi."

Hingga tiba - tiba dia datang padaku dengan langkah yang terseok. "Besok adalah hari peringatan kematian Ayahku." Jimin tersenyum miris saat mengucapkannya, bahkan aku melihat air matanya jatuh begitu saja. Sungguh hatiku terasa sangat perih melihatnya mengeluarkan air mata. Ia masih sesenggukan kecil dengan tubuh yang sudah bersimpuh dilantai kotor kamarnya. Sesekali mata sipitnya melirikku. Aku hanya diam tentu saja. Menunggunya meluapkan segala isi hatinya. Karena aku akan selalu menjadi pendengar yang baik untuk Park Jimin.
"Kookie, aku tak sanggup lagi. Aku sungguh tak sanggup." dengan terisak - isak ia menggapaiku dan membawaku dalam pelukan erat. "Satu - satunya yang kumiliki hanya kau Kookie. Kau tau, ini terasa sangat berat." lanjutnya dengan suara parau dan tersendat - sendat.
"Tenang Chim, aku tak akan membiarkanmu sendiri. Aku akan selalu ada disampingmu. Percayalah." Aku meyakinkan Jimin.
Tapi nampaknya ia masih sesenggukan dan sama sekali belum tenang. Aku tau selama setahun terakhir Jimin tak pernah tidur tenang. Ia selalu terjaga ditengah malam hingga harus berakhir dengan mengonsumsi obat penenang agar bisa kembali terlelap. Kematian sang Ayah sungguh menimbulkan dampak yang buruk bagi Jimin. Tak heran sebenarnya karena sejak kecil ialah keluarga satu - satunya yang Jimin punya. Ayahnya juga begitu menyayanginya. Karena sebenarnya Jimin adalah anak yang baik dan penurut. Juga sopan terhadap orang tua. Ayah Jimin orang kaya omong - omong. Jadi walau Jimin ditinggal Ayahnya dan tak bekerja ia tak akan mati kelaparan.

Aku lihat Jimin sama sekali tak tidur semalaman. Aku tak menegurnya. Aku hanya terus berada disampingnya. Mengawasi setiap gerak tubuhnya -walau ia tak banyak bergerak sebetulnya-. Paginya Jimin terlihat segar dengan balutan celana putih selutut dan kemeja biru langit kedodoran yang lengannya ditekuk sebatas siku itu. Ia nampak sangat manis untuk seorang pria. Ia berjalan riang kearahku. Tersenyum begitu manis dan menatapku lama. Hingga berakhir ia mengajakku keluar. Sudah lama sekali ia tak mengajakku pergi. Dan ini adalah pertama kalinya sejak kematian Ayahnya. Hari ini ia terlihat sangat bahagia. Seolah tak memiliki masalah ataupun beban hidup sama sekali. Bibir penuhnya terus bersenandung mengikuti lirik yang didengarnya melalui aerphone sewarna salju itu. "Kau telah kembali Chim." aku tersenyum melihatnya. Melihat senyum cantik yang terpatri diwajah manisnya.

"Syukurlah." aku merasa benar - benar lega melihat orang tercintaku melangkah dengan riang menyusuri taman kecil dipinggiran kota. Atau terkadang sesekali Jimin akan berputar dengan sebelah tangannya yang melambai riang. Sedangkan sebelah tangannya tetap menggenggamku erat. Seakan enggan melepasnya. Surai hitamnya nampak berkilau diterpa sinar mentari. Cuacanya begitu cerah secerah suasana hati Jimin, pikirku. Lelaki mungil itu berhenti sejenak untuk duduk dibangku taman yang kosong. Matanya memandang sekeliling taman yang nampak tak terlalu ramai. Ini hari rabu, tentu saja tak banyak yang berkunjung. Kembali, Jimin melangkahkan kakinya ringan. Menyentuh daun - daun disepanjang jalan.

Langkah pendek itu terhenti disebuah sungai dengan pemandangan yang indah dimalam hari. Ah, ternyata ia ingin ke sungai Han. Kebetulan ini sudah malam. Dan sungai Han dimalam hari adalah surganya ketenangan. Jimin mengulas senyum tipis dengan mata menatap lurus kedepan. Melihat indahnya kerlap - kerlip lampu dan tenangnya air yang mengalir.

Perlahan ia membawa kakinya menuju jembatan yang berada diatas sungai Han. Aku masih disampingnya tentu saja. Kaki - kaki mungil Jimin semakin menepi kearah pembatas jembatan. Kaki kirinya mulai menaiki pembatas besi yang keras itu. Sedang tangannya masih menggenggamku erat. Lalu perlahan - lahan ia mendekatkan wajahnya padaku dan mencium keningku lama. Aku begitu senang, terkejut, takut dan segala rasa bercampur menjadi satu dihatiku. Ia melepaskan kecupannya dan melepasku begitu saja setelah dia berucap, "Selamat tinggal Kookie."

"JIMINNNNNN!" teriakku ketika dengan cepat Jimin melemparkan tubuh mungilnya kesungai Han. Membiarkan tubuhnya hanyut dibawa air. Sungguh aku menyesali keputusan bodohnya. Keputusan bodoh Jimin untuk bunuh diri. Inikah alasannya tersenyum seharian ini? Bertingkah ceria seolah - olah tak punya beban. Kau tega Chim, kau tega meninggalkanku sendirian ditepi jembatan sungai Han ini bersama serpihan luka yang sangat menyakitkan. Aku merasa hancur melihatmu pergi Jimin. Tak taukah kau aku begitu mencintaimu?

Disini, dibawah terangnya sinar rembulan, aku hanya bisa diam dan menangisi kepergiannya.
"Bulan, tolong jaga bulanku." doaku pada langit malam. Semoga kau tenang dialam sana Jimin. Aku terlalu bodoh karena berani mencintai orang sepertinya. Karena pada kenyataannya aku hanyalah sebuah boneka pemberian mendiang Ayahnya.

.
.
.
FIN

salam kenal, ini ff pertama aku.
mohon kritik dan sarannya ya.
makasih bagi yang bersedia membaca.
oh iya, jangan lupa voment yah 😊😊

Kookmin Stories (Wrong Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang