Saat aku sadar, rumahku sudah penuh dengan kerabat-kerabat abah dan umi, serta keluarga besarku. Ternyata ini benar-benar terjadi. Aku keluar dari kamar dan melihat kak Yusuf dan ustadz Arifin duduk di samping jasad abah dan umi. Ustadz Arifin menangis sedangkan kak Yusuf mencoba menenangkan.
Aku mendekati jasad abah dan umi, lalu kak Yusuf mendekatiku. "Za, kamu harus kuat. Istighfar ya" ujarnya. Aku melihat jasad abah dan umi, benar itu wajah mereka. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi, aku tidak yakin. Aku baru kehilangan sahabatku, sekarang aku kehilangan orang tuaku?
Aku segera ke kamar dan mengambil HP-ku, mencoba mengabari Yoga tentang abah dan umi, namun nomornya tidak aktif. Ah, sudahlah, persetan dengan Yoga, aku harus mengurus ayah dan ibuku dulu, pikirku.
Aku keluar dari kamarku dan membantu keluargaku mengurus pemakaman abah dan umi. Salah satu pamanku mendapat telfon dari kerabat yang mengurus tanah pemakaman abah dan umi.
"Oh gitu? Alhamdulillah, oke segera kita proses aja kalo gitu" ujarnya pada seseorang di seberang telfon. Om Zulfikar namanya, adik kandung umi yang bekerja sebagai diplomat di Kairo. Ia kebetulan sedang di Jakarta saat menerima kabar itu dan langsung segera ke sini. "Om, kenapa?" tanyaku padanya.
"Enggk, Za. Itu lho, tadinya kita kesulitan nyari makam buat abah sama umi. Tapi barusan ada saudara kita bilang ada dua makam yang udah digali dan siap jual karena pemiliknya pindah lokasi makam" sahut om Zul.
"Alhamdulillah, semoga ini tanda abah dan umi dimudahkan" sahutku. Om Zul menepuk kepalaku dan tersenyum. "Hebat kamu, Za. Bisa sekuat itu dalam keadaan kacau gini, om salut sama kamu" ujarnya.
Proses pengurusan pemakaman abah dan umi terasa mudah, lancar tanpa hambatan hingga abah dan umi dikebumikan. Aku pun sudah lapang, sudah ikhlas menerima bahwa ini bukan mimpi. Setelah acara pemakaman selesai, aku dibantu oleh paman-paman dan bibiku untuk mengurus warisan.
Semua yang dimiliki abah dan umi jatuh kepadaku karena aku anak tunggal. Selama masa sulit itu, tidak sesaat pun kak Yusuf meninggalkanku. Pria ini selalu mendampingiku dan berusaha membantuku jika aku terlihat kesulitan. Berulang kali ia menguatkanku, terkadang membacakan sejumlah surat dari Al-Qur'an untuk menenangkanku, membuat semua ini jadi terasa mudah.
Segala urusanku selesai setelah maghrib. Aku sholat dan lalu memeriksa HP-ku. Sama sekali tidak ada kabar dari Yoga. Aku menunggu hingga pukul 10 malam dan masih belum ada kabar juga darinya. Akhirnya kuputuskan untuk istirahat setelah hari berat yang melelahkan itu.
Paginya, rumahku terasa sangat sepi. Tidak ada seorangpun di rumah. Aku mandi dan bersiap menuju rumah Yoga. Saat akan berangkat, pak Ojan, kepala armada ojek yang dikelola abah. "Teteh, mau pergi ya?" tanya pak Ojan.
"Iya pak, ada apa?" aku balik bertanya. "Aduh, kumaha yeuh? Saya teh mau bilang sesuatu" ujar pak Ojan sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Kenapa pak?" aku merasakan firasat buruk. "Anu teh, jadi gini. Kawan-kawan sepakat mau mundur semua setelah abah meninggal. Hampura teh, si Afrizal bilang ga mau armada dikelola sama orang selain abah. Kita juga, pak Ojan sama kawan-kawan yang lain mau pindah armada" ujar pak Ojan pelan, tampak merasa tidak enak.
"Yaudah deh pak, saya gak keberatan kok. Gapapa kalo mau pindah, semoga rejekinya tetap lancar ya pak" sahutku. Jujur, aku memang tidak keberatan karena aku tidak paham bagaimana mengelola bisnis abah.
Lagipula tampak terlihat bahwa mereka hanya loyal pada abah saja, bukan padaku atau keluargaku. Setelah pak Ojan berpamitan, aku bergegas mengeluarkan sepeda motor dan menuju ke rumah Yoga. Aku benar-benar membutuhkan Yoga saat ini, aku bukan hanya rindu tapi ingin bercerita tentang abah dan umi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kehilangan Tuhan [END]
SpiritualEliza Firdaus, seorang mahasiswi yang baru saja akan melanjutkan studinya ke Amerika, mendapat penolakan keras dari ayahnya. Sang ayah, Zainal Firdaus, akan berangkat haji dalam waktu dekat dan berencana menitipkan Eliza di sebuah pondok pesantren m...