"Kalo iya? Gimana dong?"

31 1 0
                                    

Malam pun tiba, aku dan Mutia baru saja selesai sholat isya dan kami lanjutkan tadarus. Aku baru membaca beberapa ayat saat kulihat Nurul mendekati kak Yusuf dan mengobrol beberapa saat. Lalu setelahnya, Nurul meninggalkan kak Yusuf sambil tersenyum. 

Aku segera menutup Al-Qur'an-ku dan bergegas menuju asrama. "Eh? Oy, Za, baru juga berapa ayat" Mutia bicara padaku yang tak mempedulikannya dan langsung ke kamar. Di kamar, aku membuka smartphone ku dan berharap Yoga mengirimiku pesan atau apapun itu yang bisa membuatku yakin dan tenang, namun tidak satupun kabar yang kudapat darinya. 

Jujur, aku sangat merindukannya walau kini aku sadar sedikit demi sedikit, ada perasaan kagum pada kak Yusuf di dalam hatiku. Aku berbaring dan menutup mataku, mencoba mengingat pertama kali bertemu di depan rumahku. 

Aku ingat senyumannya saat itu dan bagaimana cara bicaranya yang sangat sopan itu begitu mempesona. Aku ingat betapa terkejutnya aku melihat wajah tampan itu ternyata memiliki suara yang sangat manis dan imut. 

Tanpa terasa, aku terlelap. "Za ... Za? Iza?" samar-samar kudengar suara Mutia memanggilku. Kubuka mataku dan melihatnya sedang membangunkanku, wajahnya tampak khawatir. Aku mengusap mataku yang masih lengket karena mengantuk. 

"Hoaaahm ... kenapa Mu?" tanyaku sambil menguap. "Bangun, Za! Kak Yusuf mau pergi dari pondok!" ujarnya panik. "Hah? Kak Yusuf kenapa?" aku mencoba meyakinkan bahwa barusan aku salah dengar. 

"Kak Yusuf berantem sama ustadz Arifin, terus mau pergi dari pondok!" balas Mutia, kali ini dengan suara agak keras. "What!? Serius?" aku tak percaya apa yang kudengar. Segera kukenakan jilbabku dan berlari keluar asrama pondok. 

Di alun-alun, para santri sudah ramai. Kulihat ustadz Arifin sedang marah-marah sambil menunjuk-nunjuk kak Yusuf, sementara kak Yosi mencoba menenangkan ustadz Arifin. "Anak gak tau diuntung! Antum gak sadar gimana ane usaha buat antum!?" teriak ustadz Arifin dari jauh. "Udah, bah. Istighfar bah, astaghfirullahaladzim" kak Yosi mencoba menjauhkan ustadz Arifin dari kak Yusuf. 

Suasana gelap saat itu sama sekali tak menghalangiku untuk melihat kak Yusuf yang berjalan ke arah gerbang. Ia terhenti sesaat dan melihat ke arahku, matanya berkaca-kaca, ia tersenyum, lalu kembali berjalan dan meninggalkan pondok malam itu. Sementara kak Yosi berhasil menenangkan ustadz Arifin, kulihat tidak jauh dari mereka, ustadzah Rinna tampak sedang menenangkan Nurul yang menangis histeris.

Hari Minggu pun tiba, satu-satunya hari di mana kami boleh bermain di luar pondok pesantren. Pukul 6 pagi itu, aku mengajak Mutia untuk maraton, namun Mutia menolak dengan alasan masih mengantuk. 

Aku keluar dan melihat anak-anak lain sudah banyak yang meninggalkan pondok untuk refreshing. Aku berlari ke arah pasar yang lumayan jauh dari pondok. Setelah berlari beberapa lama, aku kehausan dan membeli minuman di sebuah toko kecil di daerah pasar. 

Aku duduk di sebuah tempat istirahat di depan toko itu dan melihat wajah yang kukenal. "Kak Yusuf!" aku memanggilnya. Ia menengok ke arahku. "Eliza?" ia tampak heran melihatku. "Kamu ngapain di sini?" tanya kak Yusuf. 

"Lari pagi, kak" jawabku. "Tapi ini kan lumayan jauh, lagian kamu gak sama temenmu yang satunya itu?" tanya kak Yusuf. "Makin jauh kan makin sehat kak. Mutia gak mau ikut" aku menjawab pertanyaan kak Yusuf. 

"Kak, kenapa pergi dari pondok?" ragu-ragu aku menanyakan itu. Namun karena rasa penasaranku yang lebih besar, akhirnya kutanyakan juga. "Kamu udah sarapan? Suka bakso nggak?" tanya kak Yusuf. 

Ia menarik tanganku, kemudian kami ke sebuah warung bakso di seberang jalan. Kak Yusuf memesankan bakso untuk kami berdua. "Aku berantem sama abah, karena aku nolak perjodohanku sama Nurul, Za" kak Yusuf membuka obrolan dengan langsung menjelaskan semuanya. 

Kehilangan Tuhan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang