NI

3.7K 278 149
                                    

Hati yang ikhlas dan doa yang tulus adalah dua tentara yang tak terkalahkan. (Ibn Taimiyyah)

***

Wangi musim semi menyeruak saat Athaya baru saja turun dari pesawat. Dini hari, ia baru sampai di Bandara Internasional Haneda, Tokyo. Setelah mengecek paspor dan visa, Athaya berjalan ke arah tempat pengambilan koper. Satu per satu ia melihat nomor koper penerbangan agar tak salah menunggu. Ketika yakin koper yang diambil adalah miliknya, Athaya berjalan lagi ke tempat tunggu. Ia duduk di salah satu kursi, menunggu orang yang akan menjemputnya.

Langit masih gelap. Namun, orang-orang sudah berlalu-lalang tanpa henti. Ke sana-ke mari dengan urusan masing-masing. Tidak terlalu buruk, meski ia masih merasa asing dan terkucilkan di tengah warga berkulit putih itu. Penampilannya dengan hijab tak jarang mendapat lirikan dari beberapa warga lokal yang melintas.

"Ada yang aneh, ya?" Ia melihat ke seluruh bagian tubuh yang bisa dijangkau. Mungkin mereka masih tidak biasa dengan wanita muslim yang berhijab? Atau gaya berpakaiannya memang terlihat aneh?

Astagfirullah, kenapa Athaya harus memusingkan sesuatu yang belum tentu benar? Meski hatinya ingin cepat pergi dari sana, ia tidak tahu harus melangkahkan kaki ke arah mana. Athaya baru sampai, ia tidak mau menjadi 'orang hilang' dalam waktu dekat.

Buku berjudul "Kursus Kilat Langsung Mahir Percakapan Bahasa Jepang dalam Sehari" yang dibelinya lima tahun yang lalu, dibuka sebagai pengalih pikiran. Daripada berprasangka buruk pada sekitar, lebih baik Athaya fokus untuk mempelajari bahasa Jepang.

Tidak seperti judulnya yang katanya 'Bisa langsung mahir bahasa Jepang dalam sehari', dulu sekali saat masih menjadi mahasiswi di Universitas Gajah Mada Athaya mempelajari buku ini, namun butuh tiga bulan ia baru bisa menguasai huruf katakana dan hiragana, sementara untuk kanji, kosakata, tata bahasa, membaca, dan menyimak Athaya membutuhkan waktu kurang lebih empat tahun. Beruntungnya ilmu yang sempat didapat tidak hilang begitu saja, dengan kemampuannya Athaya berhasil lolos ujian Nihongo Nouryoku Shiken atau bisa disebut juga Noken di tingkat N3.

Hidung Athaya mengerut. "O namae wa nan desu ka?" ucapnya lantang lantas tersenyum semringah. Ah bagus, masih fasih seperti biasanya.

"Watashi wa Sarah desu."

Athaya menjengit, kaget. Ia refleks menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Sebab, siapa sangka ucapannya barusan mendapatkan sebuah tanggapan? Padahal ia sedang tidak berbicara pada siapa pun saat ini. Rambut halus di tangannya meremang, entah karena pengaruh musim dingin yang masih tersisa, atau ada makhluk yang tak kasat mata di dekatnya.

Istighfar, Tha.

Athaya tidak bisa berpikir jernih, ia masih mengira jika ada makhluk astral di dekatnya. Akibat Albab yang membawakan buku berjudul "50 Hantu Jepang yang Terkenal" Terlebih, setelah sahutan tadi, kini berganti tawa kecil dari seorang wanita. Siapa tadi nama hantunya? Sarah? Sepupunya Sadako, bukan? Masa iya di bandara ini ada sumur tuanya?

"Mbak?"

"Astaghfirullahal'azdim." Kali ini Athaya berdiri, kemudian langsung berbalik melihat ke arah belakang, begitu sebuah tangan menyentuh bagian pundaknya. Ia baru bernapas lega, ketika mengetahui kalau yang menempel di bahunya barusan bukanlah tangan setan Jepang.

"Kaget, ya?" tanya wanita itu sambil tertawa tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Athaya meringis, menyadari betapa bodoh tingkahnya barusan. "Bukan kaget lagi, sih, Mbak." Tangannya beralih mengusap dada. "Barusan udah mikir kalau ada Mbak Sadako lagi gangguin saya."

Lawan bicara Athaya tergelak anggun. "Astaga, saya minta maaf. Saya nggak tahu kalau kamu parnoan."

Ahaha, miris. Sayangnya Athaya benar-benar paranoid. Bukan takut pada setan, tapi lebih pada wajah mereka yang di luar batas kewajaran. Satu kata, me-nye-ram-kan.

Gema di Langit Tokyo [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang