Karena yang dinanti belum tentu terpatri
***
Lampu kerlap kerlip, langit merah menyala, gedung pencakar langit, manusia yang hilir mudik tanpa henti. Pemandangan yang akan kalian temui pertama kali ketika menginjak ibu kota Negara Matahari Terbit ini, Tokyo.
Begitu juga di pusat kota Higashimurayama yang seolah tak pernah tidur dari aktifitas masing-masing manusia di sana. Lain halnya suasana di daerah perumahan, sepi. Tidak ada orang kecuali lampu jalan temaram yang menerangi jalan yang diapit rumah-rumah warga.
Beberapa kali Athaya bertemu dengan para pekerja yang baru pulang. Ada yang berjalan tegap, gontai, bahkan sempoyongan. Tidak jarang juga ia mencium bau alkohol yang menguar dari badan para pekerja yang berpapasan dengannya.
Jangan tanya ke mana lagi gadis itu pergi di udara malam yang menusuk kulit seperti sekarang. Tentu menjemput dompetnya yang masih ada di tangan orang asing, yang ia temui di minimarket tadi.
Panduan dari suara wanita di ponselnya terus membawa kaki Athaya berlari menuju minimarket, tempat ia bertemu laki-laki itu. Syal di lehernya sudah tidak terlilit rapi lagi, menjuntai hingga menyentuh aspalan jalan.
"Yaa Allah, semoga saja dia orang baik, semoga saja dia orang baik, semoga saja dia orang baik."
Athaya tahu jika pria yang menolongnya tadi pasti tidak memiliki niat jahat. Namun, tetap saja ia tidak boleh percaya begitu saja pada wajah tampan dan kebaikan hati yang diperlihatkan.
"Kamu nggak boleh polos-polos banget, Mbak Tha. Positive thinking emang bagus, tapi waspada sama orang asing yang baru Mbak temui juga perlu." Bayangan Rikhna yang berwajah judes tiba-tiba muncul. Ia ingat saat hampir ditipu kakek-kakek berusia sekitar enam puluhan untuk mengantarkannya ke sebuah rumah kosong dan menjarah isi tasnya.
Ia ingat jelas bagaimana wajah adiknya itu merah padam akibat kesal pada Albab yang lalai menjaga kakaknya. Sangat berbeda dengan wajah Ummi dan Abi yang malah panik, kerepotan meredam kemarahan Rikhna.
Kala pikirannya masih terbawa beberapa kenangan, sementara kakinya terus berjalan. Athaya lupa untuk tidak berhati-hati saat berbelok, alhasil ia menabrak seseorang dan mencium aspal.
"Sakiiiiit," keluhnya menyentuh bagian belakang.
TRAS!
"TEME!" Seorang pria membentak dengan nada tinggi setelah membenturkan botol minumannya pada pagar batu.
"SHINU!" ucapnya lagi. Laki-laki itu tidak mendongak, tapi gertakannya mampu membuat tubuh Athaya bergetar.
Gara-gara kecerobohannya, ia menabrak bapak-bapak yang mabuk. Ada cairan bening di sekitar badan pria itu dan aspal di bawahnya yang basah, bau menyengat ini juga menambah keyakinan Athaya bahwa isi botol tadi adalah miras.
Athaya ingin pergi dari sana. Namun, kedua kakinya melemas. Jangankan untuk dibuat berlari, digerakkan saja sangat susah. Pria itu bangkit lebih dulu. Ia melantur panjang lebar, entah tentang apa. Mata sipitnya terlihat sayu, dan beberapa kali juga cegukan akibat terlalu banyak minum.
"Hontou na baka yaro!" Laki-laki itu lantas tertawa keras. Athaya tidak mengerti, tapi melihat ada celah untuk lari, sementara orang ini terus mengoceh tanpa henti, ia bangkit secara perlahan. Membuat gerakan tiba-tiba hanya akan menyadarkan pria tua ini jika ada orang lain, dan mungkin saja saat itu nyawa Athaya akan kembali terancam. Ia tidak mau kulitnya tergores serpihan kaca dari leher botol yang dipecahkan.
Sempurna ia berdiri, waktunya Athaya pergi. Matanya selalu menatap awas, mundur satu-satu secara teratur ke belokan di belakangnya.
"Ha? Dare, da?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gema di Langit Tokyo [TERBIT]
روحانيات[TELAH TERBIT| Bisa dipesan di shopee: divtia] . . . Berawal dari aksi mengupingnya yang tertangkap basah, Fathaniah Athaya sangat menyesal sudah membuntuti Fujihara Hibiki memasuki Taman TODAI. Gadis berhijab yang mudah lupa itu, malah dengan mudah...