"Saya lega mbak." Tukas Anjani berada di samping meja kerjaku.
"Ini juga nggak lepas dari kerja keras elo Jan. Makasi ya. Sumpah, kalo nggak ada lo gue nggak tau musti ngapain. Gimana nyiapin semuanya. Gue cuma beruntung aja punya asisten cekatan kayak lo."
"Biasa aja mbak. Saya sih cuma menjalankan kewajiban apa yang seharusnya saya jalankan." Jawabnya ringan tak berbeban.
Umur kami hanya terpaut 1 tahun. Setahun lebih tua bagiku. Tapi kami jelaslah dua pribadi yang sangat berbeda. Ia adalah perempuan yang santai. Selalu bisa menangani semua permasalahan dengan kepala dingin. Berbeda halnya denganku. Aku adalah tipikal perempuan yang mudah frustasi.
Anjani menjadikan sebuah kewajiban sebagai hal menyenangkan sekaligus menantang adrenalin. Sebaliknya, aku justru menganggap sebuah kewajiban selalu terikat dengan tanggung jawab. Sedangkan tanggung jawab akan selalu menuntut lebih pikiran dan juga emosiku.
Dalam percintaan, dia jauh berada di depanku. Melangkah jauh, bahkan sudah mendaki gunung dan sampai di puncak Everest. Aku? Jalan di tempat, lalu estafet. Kembali pada titik awal tanpa kemajuan.
"Ngomong-ngomong gimana hubungan lo sama Tatang?" Tanyaku tiba-tiba.
"Kenapa mbak tanya soal begitu? Jangan-jangan..."
"Hus! Mikirnya aneh-aneh terus lu ya."
"Mbak udah saatnya juga kok. Mbak sering ngurusin acara orang lain, terus mbak sendiri kapan mau ngurus acaranya sendiri?" Goda Anjani.
"Nggak usah mulai ya Jan.."
Anjani. Pertama kali aku bertemu dengan perempuan berambut ekor kuda itu sekitar 4 tahun yang lalu. Waktu itu, kami adalah sama-sama seorang sarjana baru dari universitas yang sama. Hanya saja aku dan Anjani berbeda jurusan. Ia dengan sarjana psikolog nya, dan aku dengan sarjana ekonomi ku.
Anjani jugalah seseorang yang pertama kali kukenal di tengah lautan manusia saat kami berada di bursa kerja. Semua tampak terencana. Saat kami berpapasan, saling menjabat tangan, lalu memperkenalkan diri masing-masing dengan gaya malu-malu.
Semuanya tanpa kami sadari waktulah yang telah mempertemukan kami dalam situasi yang rumit waktu itu. Kami berdua sama-sama tau. Menjadi lulusan 'kemarin sore' akan pamali jika kembali ke desa dengan tangan hampa. Apalagi jika pulang hanya menyandang status pengangguran.
Lalu semuanya menjadi seperti kilas balik. Terputar mundur secara teratur, kembali ke 4 tahun silam. Masa-masa awal perkenalan kami.
***"Aduh!" Kakiku terinjak oleh sebuah sepatu heels yang lumayan tinggi dan runcing.
"Eh maaf mbak. Nggak sengaja." Si pemilik kaki itu lalu dengan cepat memapahku agar dapat kembali berdiri tegak.
"Iya iya nggak papa. Lagian di sini rame juga."
Perempuan itu malah semakin tampak kebingungan. Setengah khawatir, matanya menyisir hampir ke setiap sisi kakiku. Memastikan bahwa semuanya aman terkendali.
"Gue baik-baik aja." Kataku meyakinkan. Ia pun tersenyum simpul.
Lalu semuanya mengalir begitu saja. Kami ikut berjejal menerobos kerumunan para pemburu kerja di masing-masing stand perusahaan ternama yang ikut unjuk gigi di acara bursa.
Akhirnya sebuah stand yang tampak tak terlalu ramai pengunjung menarik minat kami. Stand dengan ikon mahkota membuat rasa penasaran kami sedikit terusik.
"Kesana yuk!" Ajakku kepada perempuan ini. Ia pun terlihat antusias.
Beberapa karyawan penjaga stand menyambut kami sangat ramah. Salah satu di antara mereka bahkan tak enggan menawarkan berbagai macam katalog perusahaan mereka untuk sekadar kami telisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark in Love
Romance"Aku Vanya. Seorang single dengan karir sebagai CEO sebuah wedding organizer terbaik seantero Jakarta. Bagiku pernikahan adalah sebuah hal yang sangat membahagiakan. Sampai suatu hari seseorang telah mengubah semua persepsiku tentang arti pernikaha...