Ada yang menarik di sudut halaman sekolah SMA Budaya. Misterius, gelap, hitam, dan aura negatif yang muncul bukan karena pohon kersen yang tumbuh berpuluh tahun di sana. Ini lebih seram dari makhluk halus apapun. Aura hitam dan gelap menambah misteriusnya yang sukar ditebak.
Dia yang suka sekali duduk di bawah pohon kersen. Membiarkan daun jatuh di keningnya sambil menatap langit seperti dua orang yang diam-diam saling jatuh cinta.
Ray selalu menghabiskan waktunya di bawah pohon kersen sebelum bahkan setelah pelajaran. Dia selalu sendirian di sana. Jika ada orang yang menemuinya di tempat itu, Ray tak acuh bahkan mengabaikan mereka. Entah kenapa kesendirian membuatnya bebas berangan-angan, membaca hatinya sendiri, dan bisa melakukan apapun tanpa dikekang.
Tapi tidak dengan Devon, satu-satunya lelaki kebal dengan sikap Ray yang selalu merutuki hidup. Ray bukan orang yang patut dicari tahu kehidupannya, tidak patut dikagumi, dan segala tentang Ray tidak patut diperhatikan.
"Laki-laki itu pecundang," katanya, setiap ada yang bertanya tentang Ray.
Sejalannya dia dengan Ray, begitu hebatnya hitam dan putih tercampur dalam hidup keduanya, Devon merasa jadi pecundang juga. Karena dia membiarkan sahabatnya hancur lebur tak bersisa, tidak memiliki cara mengembalikan Ray seperti dulu, dan bahkan diam-diam, Devon malah membiarkan semua itu terjadi karena sudah seharusnya.
Di ujung putus asa, Ray bertanya pada temannya ini, sebenarnya sahabat. Mereka jatuh bangun berdua semenjak SMP, saling adu jotos tapi akhirnya saling merangkul. Mereka juga pernah saling menyukai gadis yang sama meski pada akhirnya mereka relakan gadis itu pergi bersama orang lain.
"Kita udah lama kenal, kan?" tanya Ray datar.
Mendengar pertanyaan itu, Devon melirik Ray aneh. "Kenapa?"
"Temen itu harus sering bantu tarik keluar dari lubang kesakitan, kan?"
"Lo mau gue tarik supaya bahagia?"
Ray tersenyum kelu mendengar pertanyaan Devon, "Gue sekarat."
Devon mengangguk perlahan tanpa ingin memastikan raut wajah Ray yang hampir gila, "Berkali-kali gue udah bantuin lo," Devon diam melirik Ray sebentar, raut wajah Ray memang makin jadi gila.
"Tapi, gue ikut jatuh ke lubang masalah juga. Nggak ada orang yang tahu kalau kita butuh pertolongan. Yang bisa kita lakuin cuma kerjasama, lo berdiri di pundak gue dan raih apapun di atas sana. Tapi ternyata, kita nggak pernah bisa tarik apapun di atas lubang. Kita udah sama-sama hampir mati."
"Kita masih bisa teriak!" sergah Ray cepat.
"Lo lupa, kalau mulut kita udah penuh tanah?"
Jujur, Devon pun mati-matian menahan emosi pada dirinya sendiri, mengapa ia sebodoh ini tidak bisa menolong Ray yang penuh dengan kesakitan.
Ray menekuk kedua kakinya seraya menenggelamkan kepalanya dalam-dalam. Tidak ada warga sekolah yang tahu, dibalik seragam abu-abunya terdapat tubuh yang memar, penuh luka, bahkan bekas luka minggu kemarin pun belum mengering.
"Bokap lo ... tambah parah sama lo, Ray?"
Ray bergumam mengiyakan, mengeratkan kakinya lebih menyentuh kepalanya. "Gue lempar pake panci tuh Ibu tiri. Kepalanya berdarah. Gue nggak terima ngasih makan adik gue kayak anjing."
Devon diam namun matanya tidak bisa berhenti berputar. Dia tidak bisa menyuruh Ray untuk pergi dari rumah, selain untuk melindungi adiknya, Devon pun juga butuh uang dari Ray untuk memenuhi kebutuhannya setiap hari.
Dari mana lagi uang itu dia dapat selain dari Ray? Dia saja hidup sendiri dan tidak bisa apa-apa selain bergantung dengan Ray.
"Sabar ya, Ray. Ini ujian."
Ray langsung bereaksi hanya dengan menunjukkan jari tengahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING SO BLUE
Teen FictionRay dan Devon, dua cowok SMA yang ditakdirkan untuk selalu bersama melewati rintangan kehidupan. Berbagai cara mereka lewati untuk menuju bahagia, namun hasilnya nihil. Maka dari itu, mereka memilih berubah sikap dan sifat. Diri mereka yang bukan se...