Minggat

36 1 0
                                        

“Desta! Ada teman lu, tuh.” Suara cempreng Lila, adikku, terdengar di balik pintu kamar.

“Iya, suruh masuk!” Kulirik jam di atas meja, sudah pukul sembilan malam. Siapa yang selarut begini datang?

Pintu kamarku terbuka, sesosok wajah kusut muncul. Sahabat karibku, Leon.

“Hai, Bro. Sorry, boleh nginap di sini?” Leon memang terbiasa sejak kecil menginap di rumah. Tempat tinggal kami masih satu kompleks, dan setiap kali Leon mendapat masalah di rumahnya, dia selalu kabur kemari. Seperti malam ini.

“Masuk dulu, Bro. Santai aja, cerita dulu ada apa,” ujarku mempersilakannya masuk.

“Biasalah, Bapak masih aja minta gue daftar bimbel persiapan masuk Fakultas Teknik, kayak Kak Alex. Padahal, gue nggak minat sama sekali ama urusan mesin-mesin gitu. Lu tahu kan, gue pengin sekolah kuliner?” Leon merebahkan badannya di kasurku.

“Masalah ini lagi. Udah dari jaman kita baru masuk SMA, bapak lu udah seperti itu kan? Kenapa nggak lu jujur aja sih kalau nggak setuju.”

“Udah, Bro. Gue udah bilang berkali-kali kalau bakal buang-buang duit buat gue sekolah teknik.”

“Lalu, lu udah usaha apa buat meyakinkan bapak lu? Karena selama ini, gue cuman liat lu bisanya pacaran mulu ama Linda, dan minggat-minggat kayak sekarang ini.”

Bisa aku lihat pias wajah Leon. Ini anak emang perlu diberi kata-kata keras dibanding motivasi. Sebagai anak bungsu sebuah keluarga yang sebagian besar sarjana insinyur, ada tekanan berat dari bapaknya untuk Leon. Berat karena minat Leon bukanlah menjadi seorang insinyur. Baginya, menjadi chef dan memiliki restoran sendiri adalah cita-cita yang harus ia raih. Tapi, nyalinya selalu ciut tiap berselisih paham dengan bapaknya. Padahal, bapak Leon hanya membutuhkan bukti, bukan janji. Sebuah bukti nyata dapat merubah semua prasangka. Bukankah, tak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anak-anaknya?

Aku menatap tajam Leon, ini harus disudahi. Ujian kelulusan SMA sudah beberapa bulan lagi. Keputusan untuk meneruskan ke sekolah mana sudah harus diambil.

“Lalu, gue harus gimana?”

“Ya udah, gampang aja. Pulang ke rumah, hadapi bapakmu. Buktiin kalau pilihan lu memang baik.”

“Caranya, Bro?”

“Ya lu pikir aja sendiri. Linda bisa bertekuk lutut, setelah berbulan-bulan lu gigih pdkt, masak ama bapak sendiri nggak bisa?”

“Jadi menurut lu, gue harus ngasih bunga ama puisi tiap hari?” ujar Leon dengan senyum usilnya yang khas.

“Bro, katakan satu alasan bagus, gue masih mau berteman ama lu!” Ingin rasanya kutonjok senyum usil di wajah Leon itu.

“Hahahaha, karena gue keren, kan? Ya udah, gue pulang aja.Emang udah waktunya gue menunjukkan ke Bapak kalau gue bisa hidup tanpa harus jadi sarjana insinyur. Meskipun bakal berat, lo mau kan support gue terus?”

“Selalu, Bro. Kita udah bersahabat sejak kecil, lo udah gue anggap sodara juga. Pasti gue support, selama lo juga usaha bener-bener berjuang demi hidup dan cita-cita lo sendiri.”

“Makasih, Bro. You’re the best!”

“Yeah, i know. Sudah sana pulang, Ibu lo pasti cemas.”

Sebelum Leon beranjak keluar, sebagai sahabatnya sejak kecil, aku memberinya pelukan penyemangat. Aku kenal bapak Leon, pasti berat sekali menjadi anaknya.

Dengan masih berpelukan, aku membisikkan sesuatu.

“Kalau Linda lihat kita pelukan gini gimana, Bro?”

“Biar aja. Kalau dia minta putus juga nggak masalah. Mending mutusin dia daripada mutusin lu, Bro”

Kudorong Leon dan kami sama-sama tergelak.

“Pulang sana! Nggak usah balik-balik sini lagi!"

Meet My Alter EgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang