AB Negatif

25 1 0
                                        


“Kakak! Aku tidak #kuat lagi. Kita istirahat sebentar, ya,” suara Aini terengah tanda dia benar-benar kelelahan.

“Ya sudah, sepertinya di depan ada gedung kosong. Kita bisa bermalam di sana.”

Kami sudah berada di daerah luar kawasan Turba yang tak berpenghuni. Berlari-larian menjauh dari pusat kota dan pemerintahan demi menyelamatkan diri dari penguasa negeri ini.

Bertahun-tahun yang lampau, kala para buyut kami masih berusia belia, negeri besar yang subur ini porak poranda akibat perang saudara. Pemberontakan meletus dari rakyat kecil yang sudah lelah dengan arogansi dan korupsi para penguasa. Dengan penguasaan sumber daya dan teknologi tanpa batas, penguasa dapat dengan mudah meredam pemberontakan, sekaligus membentuk tatanan hidup baru yang lebih kejam.

Negara dibagi menjadi dua kawasan untuk membedakan kasta penghuninya. Kawasan Nobilem, tempat para orang-orang kaya, pejabat pemerintah, dan para keturunan ningrat tinggal dengan segala kenyamanan serta kemewahan. Kawasan Turba sebaliknya, tempat tinggal para jelata, maling, dan anak keturunan pejuang pemberontak yang masih #selamat. Di situlah kami tinggal, aku dan adikku Aini. Kami yatim piatu sejak orang tua kami ditangkap dengan tuduhan tanpa dasar merencanakan pemberontakan kembali.

Diusiaku yang baru dua puluh tahun, aku sudah merasakan menjadi budak. Ya, warga Turba menyambung hidup dengan bekerja sebagai budak di rumah-rumah bangsawan Nobilem. Bukan uang yang kami dapatkan sebagai upah, tapi makanan sisa dan air bersih sekadarnya.

Konon kata Nenek, negara kami pernah memiliki tanah yang subur, indah, dan kaya. Namun, kini semua sudah hampir musnah akibat pencemaran. Sumber mata air bersih satu-satunya ada di pusat Nobilem. Dikuasai oleh pemerintah yang diktator dan korup. Hal ini membuat warga Turba hanya mampu mengemis belas kasihan mereka demi pasokan air bersih. Tanah kami sudah sangat tercemar, tak mampu menumbuhkan tanaman apapun. Membuat polusi begitu menyesakkan dada. Sedangkan Nobilem masih bisa membudidayakan tanaman lewat hidroponik yang ditopang olah mata air mereka.

“Kak, kenapa bengong?” Aini membuyarkan lamunanku.

“Eh, nggak apa-apa. Kita makan saja dulu, lalu kamu tidur duluan biar Kakak yang berjaga.”

“Iya, Kak. Aku capek melarikan diri dan sembunyi terus. Aku … rindu keluarga kita dulu.”

Aku memandang adikku yang masih berusia lima tahun dengan hati yang perih. Tidak seharusnya dia mengalami ini semua, begitu pun aku.

Baru-baru ini sebuah wabah menyerang Nobilem, dan mungkin juga akan menyusul ke Turba. Sebuah wabah misterius yang merenggut banyak nyawa. Obat penawarnya sangat langka. Penderita hanya memerlukan 1 cc darah golongan AB negatif. Golongan darah paling langka di muka bumi. Karena golongan darah itu pula kami menjadi buronan. Kami, kakak beradik terakhir yang bergolongan darah AB negatif.

Sekelebat bayangan mengalihkan perhatianku. Aini seketika memelukku erat.

“Apa itu, Kak?” bisik Aini.

“Sst … diamlah!” Aku bersiaga mengambil pistol Mark 23-ku yang masih terisi penuh.

“Laila! Aini! Itukah kalian? Tak perlu takut, ini kami Kamila dan Sarra.”

Aku mendengus lega, itu teman-temanku. Aini pun melepas pelukannya.

“Kamila … Sarra. Senang melihat kalian di sini,” sambutku menyongsong mereka.

Kamila seumuran denganku, tinggi dan perawakan kami sama. Tetangga-tetangga kami banyak yang mengira dia saudara kembarku. Sarra, gadis lucu seusia kami pula. Sayang, dia terlahir cebol. Tingginya tak lebih dari Aini.

“Syukurlah kalian baik-baik saja. Aku dan Sarra sudah menduga kalian pasti menuju dermaga Galuh untuk menyeberang ke pulau Maul.” Kamila memelukku.

“Kalian akan benar-benar ke sana? Tidak ada manusia satu pun di Maul, banyak #bahaya yang bisa mengintai kalian,” ujar Sarra.

“Kami sudah memutuskan untuk menghilang, dan Maul tempat yang cocok untuk itu, teman,” ujarku sambil menatap Aini penuh #cinta. Adikku terlihat tegang dan pendiam. Sorot matanya penuh isyarat.

“Kenapa kau tak menyerah saja, Laila. Kasihan Aini. Kalian bisa hidup enak di Nobelium.” Kata-kata Sarra tiba-tiba menyalakan alarm di kepalaku. Tanganku reflek meraih gagang pistol di pinggang.

Dan benar saja, Kamila tiba-tiba menerjangku dengan hunusan pisau belati. Kudorong Aini menjauh sambil menarik pistol dan mengarahkan tepat lurus ke depan.

DOR!

Kamila roboh seketika.

Sarra terkesiap melihat situasi yang berbalik arah. Dia mundur berputar melarikan diri, sial kaki pendeknya tersandung. Tak kusia-siakan kesempatan ini, sekali lagi kubidikkan pistolku dan memuntahkan isinya. Sarra tertelungkup tak bergerak.

“Aini, lepas gelang identitas dan bajumu. Tukar dengan milik Sarra. Dan mulai sekarang, kamu panggil Kakak dengan nama Kamila. Mengerti?”

Aini mengangguk memahami perintahku.

“Kita berangkat lagi setelah ini. Pemerintah sudah mengendus keberadaan kita. Semoga kejadian ini bisa memperlambat mereka dan memberi waktu kita mencapai Maul.”

“Baik Kak … Kamila.”

Meet My Alter EgoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang