Amar membelokkan mobil yang dikendarainya ke arah rumah makan yang dibangun bersama dengan ketiga adiknya.
Di umurnya yang ke duapuluh, Amar memang sudah dibiasakan untuk mulai berbisnis, bahkan sejak Amar duduk di bangku sekolah menengah atas Amar sudah berjualan online. Awalnya ikut berkerja di toko baju milik Abinya, lalu uang hasil ia berkerja ditabung. Begitu lulus, Amar masih berkerja di toko baju milik Abinya, lalu saat dirasa tabungannya cukup, Amar meminta ijin kepada kedua orangtuanya untuk membuka bisnis sendiri. Amar sengaja memilih kuliner alih-alih konveksi seperti kedua orangtuanya. Takut kalah saing, begitu alesannya saat ditanya. Lagi pula orang masih bisa menunda beli pakaian baru, tapi tidak bisa menunda makan. Semua orang butuh makan. Jiwa bisnis Amar memang tidak kalah dengan Abinya.
Yang tidak disangka, selain memberi dukungan, orangtuanya bahkan menanam modal atas nama ketiga adiknya, jadi ini semacam restoran keluarga yang labanya akan di bagi rata. Khas Abinya.
Abinya Amar pernah bilang gini; kamu kan laki-laki, Mas. Harus tetap berkerja walau pun Abi dan Umi masih mampu membiayai kamu, kan kita nggak tau roda kehidupan, bisa aja saat ini kita tertawa senang, tapi sedetik kemudian kita menangis meraung-raung. Semacam itu.
Dan karena Amar kurang suka berkerja dengan orang lain, dia lebih memilih menjadi bos walaupun usahanya masih kecil. Dia lebih suka memperkerjakan orang dengan aturan yang dia tetapkan, itu semua sesuai dengan yang diajarkan Abinya. Karena kalau kita berkerja dengan oranglain, kadang ada saja halangan untuk majunya; bukan cuma di dunia tapi halangan untuk mengejar ridho Allah. Contohnya banyak di televisi-televisi. Ada saja halangannya. Ya, untuk wanita yang nggak boleh berkerudunglah, padahal yang punya perusahaan seorang muslim. Ya, laki-laki dilarang salat jumat. Apa saja.
Beda kalau kita jadi bos. Mau dateng cuma numoang makan doang juga nggak bakal dimarahin. Lha, wong kita bosnya. Siapa berani ngomel?
Amar miris melihatnya.
Itulah alesan kenapa Amar memilih untuk menjadi bos, walau usahanya masih kecil-kecilan. Dulu. Sekarang sih, rumah makan Amar udah punya nama. Udah punya pelanggan tetap juga.
"Siang, Mas Amar," sapa Chris, salah satu pelayan yang berkerja di rumah makannya. Chris adalah anak rantau, asli medan. Chris masih kuliah, Amar memang sengaja memperkerjakan anak kuliah, menurutnya dari pada dipakai untuk nongkrong-nongkrong nggak jelas, mending berkerja bisa menghasilkan uang.
Amar juga membebaskan pegawainya untuk mengatur jam kerjanya masing-masing. Yang penting dalam seminggu semua karyawannya berkerja dengan total waktu 48 jam.
Amar tersenyum, "Assalam'mualikum, Chris. Gimana? Ramai hari ini?"
Ditanya begitu, Chris langsung semangat, "Wah. Ramai banget, Mas."
"Alhamdulillah. Saya ke atas dulu kalau begitu, ya." Amar kembali berjalan begitu melihat Chris mengangguk.
Rumah makan yang Amar buka memang terbilang cukup ramai, apalagi menjelang jam seperti sekarang ini. Jam-jamnya orang makan siang. Walau pun rumah makan ini baru dibuka. Mungkin karena letaknya yang berada di jantungnya kota Bekasi dan lokasinya strategis. Jiwa bisnisnya sepertinya sudah semakin jago saja.
Setelah duduk di bangku kebesarannya, Amar mengeluarkan ponselnya. Ada beberapa pesan yang masuk yang belum sempat dia baca tadi.
From Anisa : Mas, pulangnya titip sepatu item, ya. Sepatu aku udah jebol.
Amar menggeleng. Adiknya yang satu ini ya. Baru dibelikan bulan lalu, masa udah harus ganti lagi? Tapi baiklah. Nanti dia belikan.
To Anisa : Oke. Bayarnya pakai Ar-Rahman, ya.
Amar tertawa membayangkan bibir adiknya yang pasti langsung maju beberapa centi begitu membaca balasan pesannya.
From Anisa : Setengah surah ya? Hehe.
To Anisa : Lha, pasar kali mbak ditawar. Ar-Rahman, awal sampe akhir. Take it or leave it, Ca?
To Anisa : Kalo udah hapal langsung belanja kita. Kamu bebas pilih yang mana aja.
From Anisa : Bye, Maksimal Mas. Aku nggak jadi move on ke sepatu baru *cryyyy
Tawa Amar pecah seketika begitu membaca balesan pesan dari sang adik.
Anisa. Anisa. Amar geleng-grleng kepala setia ingat adiknya yang satu itu.
Pesan lain menyusul, membuat Amar mengurungkan niat untuk membalas pesan sang adik.
Umi : Mas, jangan lupa salat dzuhur ya. Doain umi dan abi panjang umur, doain semoga urusan umi dan abi juga adek-adek dilancarin. Umi sayang sama Mas.
Amar : Iya umi. Umi jangan lupa salat juga ya. Amar sayang umi.
Kalau ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuannya. Begitu pun dengan ibu. Ibu adalah cinta pertama untuk anak lelakinya.
Amar nggak malu untuk mengakui hal itu.
***
Amar melirik jam dinding yang menggantung di atas pintu ruangannya.
Pukul 17.45.
Amar bangkit, berjalan keluar ruangan. Tujuannya adalah masjid yang letaknya tidak begitu jauh dari lokasi rumah makannya. Inilah mengapa Amar memilih bangunan tempat rumah makannya, selain karena letaknya strategis, juga karena dekat dengan sebuah Masjid.
"Amar."
Merasa terpanggil, Amar pun menghentikan langkahnya.
"Eh, Reyhan?"
"Assalam'mualaikum. Emang jodoh ya. Malah ketemu di sini."
Eh.
Jodoh?
***
7 Febuari 2018.
Beli barang pakai surah dalam Al-Quran?
Thanks to Azizah dan keluarga untuk inspirasinya. Hehe. Bener2 briliant bgt.
Ayas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sholawat Cinta
SpiritualYasmin dan Amar. Mereka layaknya kembar identik yang dibedakan dengan jenis kelamanin. Ada diri Yasmin dalam diri Amar. Amar pun melihat dirinya dalam diri Yasmin. Takdir Allah yang mana kah yang sedang berperan? *** Xoxo, Kuhadir kembali, Tem...