[Chapter 2]

733 117 17
                                    

"Seokjin-ah!"

Seokjin menoleh padaku, lalu melambai sambil tersenyum. Hari ini, ia tampak sangat tampan dengan skinny jeans hitam, T-shirt putih, jaket denim, snapback putih, dan tentu saja, earphone putihnya.

Ralat, bukan tampan.

Ia tampak sempurna.

Sudah seminggu berlalu semenjak kami pertama kali berbicara. Well, meskipun aku yang berbicara, dan ia menjawabanya dengan tulisan. Dan setelah itu, kami sering menghabiskan waktu bersama, bahkan pulang sekolah bareng. Sehari setelah kami mulai bicara, ia mengajak kami bertukar nomor handphone.

Aku tertawa kecil mengingat cara ia meminta nomor handphoneku. Ia menulis sesuatu di bukunya, namun saat mau memberikannya padaku, ia kembali menariknya karena ragu. Ia kira, aku tak sadar, padahal aku menyadarinya, dan langsung merebut bukunya. Ia berdiri dengan panik dan berusaha merebut bukunya, namun aku tak menghindar hingga akhirnya berlari menjauhinya sambil tertawa. Ia terus mengerjarku, hingga kami tiba di taman belakang sekolah, lalu aku naik ke atas bangku taman dan membuka halaman yang baru saja ia tulis, sembari berusaha menjauhkan buku itu dari jangkauannya. Aku membaca tulisan "boleh aku minta nomor telfonmu?" sedikit kerasa agar ia mendengarnya, lalu tertawa. Ia memandangku dengan kesal, dan menerima kembali bukunya yang aku julurkan. Saat ia membukanya, matanya terbelalak kaget karena melihat nomor telfonku yang baru saja aku tulis di bawah pertanyaan itu.

Pipinya memerah, dan ia berusaha menghindar dari tatapanku. Ketika semburat merah di pipinya itu akhirnya hilang, ia memandangku dengan malu dan berucap, "gomawo," tanpa suara.

Kami tak pernah berhenti berkirim pesan, kecuali ketika kami sedang bersama. Kami membicarakan semua hal, kecuali satu. Seokjin selalu menghindar ketika aku bertanya tentang mengapa ia pindah dari Seoul ke sini, ke Daegu. Aku sudah tiga kali bertanya soal itu padanya, namun ia selalu menghindar dan mengalihkan topik. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bertanya, tak ingin membuatnya merasa risih.

Aku tersenyum kecil mengingat hal itu, lalu berlari kecil menghampirinya yang sedang berdiri di depan lokernya yang terbuka, dan berhenti tepat di depannya. Sebelum aku sempat berbicara, Seokjin tiba - tiba menjulurkan setangkai mawar merah padaku, membuatku kaget.

"U-untukku?" tanyaku bingung. Ia mengangguk sembari tersenyum manis. Aku tersenyum malu dan merasakan pipiku menghangat, lalu menerima mawar itu, memejamkan mata menikmati aromanya, yang membuat badanku menghangat.

"Gomawo," ucapku membuka mata dan memandangnya. Ia mengagguk, lalu memasukkan buku pelajaran yang baru saja ia pakai ke dalam lokernya, sebelum melepas sebelah earphonenya, hal yang belakangan ini sering ia lakukan saat kami bersama.

"O iya, aku mau mengajakmu ke Theme Park yang baru buka itu sabtu ini. Aku dapat dua tiket gratis dari salah satu makanan, dan awalnya aku mau ngajak Mari, tapi dia udah ada janji sama pacarnya. Kau mau kan?" tanyaku. Ia mengangguk sembari tersenyum lebar menampakkan giginya yang rapi, dan membuat matanya menghilang. Aku tertawa kecil melihatnya, lalu menyodorkan salah satu tiket itu padanya. Ia menerimanya, dan memasukkannya ke dalam dompetnya.

Ia menggerakkan mulutnya membentuk kata, "gomawo" tanpa suara padaku.

"Ne, sama - sama," jawabku. Ia menutup pintu lokernya, lalu mengusap perutnya sembari memonyongkan bibirnya padaku.

Aku hampir saja berteriak melihatnya. Ia terlihat sangat imut! Aku menarik nafas dalam - dalam, berusaha mengontrol jiwa fangirlingku.

"Kau lapar? Mau makan siang?" tanyaku menerjemahkan aksinya. Ia mengangguk sambil tersenyum, lalu menggenggam tanganku dan menarikku menuju kantin.

WHITE EARPHONE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang