Chapter 2

139 22 8
                                    

Jam demi jam lamanya Arne menyisir padang ilalang. Menapaki terumbu jalan lurus yang tak tahu dimana batasnya. Kabut semakin tebal menggumpal , suhu pun semakin rendah. Tiada pohon maupun makhluk berbahaya yang ia temui selain cacing-cacing sebesar jempol yang menggeliat di celah jari kakinya- menggigit, melahap kulitnya yang kering lagi keras. Tidak ada titik pemandang yang indah, tidak ada warna lain selain abu dan kabut. Benar-benar dunia yang monoton dan Arne penasaran dengan makhluk seperti apa yang menempati dunia seperti ini. Ia menanti-nanti, dan terus membayangkan sosok-sosok yang akan ditemuinya dalam semesta minim warna ini.

Tiba-tiba terdengar gemuruh dari suatu tempat. Arne terkesiap. Setelah itu sayup-sayup keramaian mengusik keberadaannya. Matanya pun menyasar ke penjuru araht, mencari asal suara. Namun nihil- tiada satupun  hal-hal yang dapat menimbulkan suara seperti tadi. Dan secara ajaib bebunyian tadi lenyap, Hanya gemerisik ilalang yang memecah sunyi. Arne melanjutkan perjalanannya, kini dengan sangat waspada sambil menajamkan indera-inderanya-- ia berjalan tanpa mengeluarkan suara. Namun, bebunyian itu kembali hadir. Kali ini disertai gelak tawa. Suaranya bahkan bergema dalam kabut. Apapun itu Arne segera mempercepat langkah kaki- menghindari bahaya yang mungkin saja mengintai dirinya. Ia harus menemukan sesuatu yang besar untuk ia bunuh agar ia dapat pergi dari tempat sepi ini. Namun sekali lagi tidak ada apapun di dunia kabut ini. Dan tawa itu kembali mengusik lebih keras dari sebelumnya. 


Arne terus berjalan. Mengabaikan suara misterius yang bergema di waktu yang tak menentu. Tiba-tiba punggung kakinya tergigit oleh seekor cacing gendut. Cacing itu menempel disana, tubuhnya menggeliat dan semakin ganas ketika sentuh. Ketika akan dilepaskan cacing itu menyemprotkan bisanya ke dalam pembuluh darah Arne. Terasa menyengat membuat darahnya seolah tengah mendidih.

Arne mengerang. 


Cacing itu semakin menenggelamkan tubuh tambunnya ke dalam kaki Arne. Ketika tercabut dari sana, cacing itu menjerit seperti babi. Ia menggelepar - memohon belas kasihan Pada Arne. Namun Gadis itu sama sekali tak bersimpati--ia menatap cacing itu dengan murka lalu meremukkannya. Tubuh berbukunya bergemeletuk di genggaman Arne. Cairan hitam, pekat  dan berlendir meleleh dari sela jari-jari Gadis kurus itu. Begitu pula cacing-cacing rewel yang menggelitik kakinya di bawah sana- Tak tanggung-tanggung ia tinjak dengan tumitnya lamat-lamat. Setelah puas membalas cacing malang itu, ia pun bergegas pergi darisana. 


Arne tak tahu pukul berapa saat ini-- yang ia tahu ia merasa sangat lelah. Jalannya gontai tak tentu arah. Tak ada matahari, tak ada bayang-bayang, semuanya berdebu dan berkabut. Dari waktu ke waktu tak ada pertanda akan gelap ataupun akan cerah. Hingga bermil-mil jauhnya. Barulah Arne menemukan sebuah pohon di tengah sabana. Ia bergegas menghampiri pohon tak berdaun itu. Setelah beberapa meter mendekati si pohon tampak daun-daun berwarna keabu-abuan berserakan di tanah sekitarnya.  Arne duduk bersandar di kaki pohon sambil mengurut betis kerasnya dan tanpa sadar kesadarannya raib karena kelelahan.

Arne tertidur barang sejemang, namun rasanya ia telah tidur sangat lama. Tak ada mimpi ditidurnya, lagipula sudah lama ia tak pernah bermimpi. Anehnya lagi, tak ada yang terjadi selama Arne tertidur. Hanya suara yang berulang-ulang menggema di padang ilalang.

Ketika Arne bangun ia terkaget oleh sesuatu yang kini sedang memandangi dirinya. Sesosok itu gumpalan kabut putih yang melayang di udara. Matanya berkedip-kedip sambil mengitari Arne. Ia memiliki tiga ekor panjang dengan tubuh tipis yang berukuran kecil. Tampak seperti helaian kain yang mengambang sedangkan wajahnya rata hanya ada mata bulat kecilnya dan bibir tipis yang lebar. Bolehlah kalau dibilang dia ini kabut yang mirip seperti makhluk hidup.

Arne menatap makhluk itu dengan waspada. Tatkala makhluk itu mendekat, tangan Arne segera menghalaunya. Selanjutnya adalah tangan Arne yang menembus tubuh makhluk itu dan si makhluk tak bereaksi apa-apa. Hanya menatap Arne penasaran kemudian berbalik arah dan pergi. Arne pun penasaran, sekonyong-konyongnya ia mengikuti makhluk itu. Berbelok dari terumbu jalan, menyusuri ilalang, dan tak lama kemudian ia telah menapaki tanah berlumpur. Makhluk itu terbang mendekati kabut tebal seperti awan di depan sana. Ia menoleh ke belakang, tepat di wajah Arne kemudian ia maju dan hilang di balik kabut tersebut. Arne mengekori makhluk itu. Ia Memasuki tirai kabut. Matanya tak dapat melihat apapun disebaliknya. Kala Arne menoleh ke belakang, lapisan kabut juga menyelimuti dirinya. Tidak ada tanah berlumpur, ilalang ataupun sebatang pohon yang daunnya berguguran yang ia lihat sebelumnya. Semuanya kosong! Namun, makhluk itu kembali muncul di hadapan Arne. Matanya berkedip-kedip .

Wuussh!

Ia meniup kencang wajah Arne--membuat Gadis itu terpejam. Sontak balok-balok besi muncul dari bawah tanah, satu per satu bergiliran, terbang meliuk-liuk dengan harmonis menyusun diri mereka sendiri menjadi bangunan tinggi menjulang--segala pernak-perniknya pun terpasang dengan apik. Lantas Langit pun terhampar, seluruh kabut lenyap tak berimba tegantikan oleh batang-batang cahaya yang menyelip dari celah awan hitam -- yang kemudian awan tersebut pun juga enyah bermetamorfosa menjadi awan tercerah -- seolah kapas putih bersih yang digantung di atas langit sana-- sangat cerah tampak menyilaukan. Dan aromanya membuat Arne membelalak.

Ini adalah hingar bingar perkotaan!

Aroma manusia

Kesibukan  kota

Keramaian

Ia menyukainya!

Banyak Bangunan menjulang tinggi. Ada sekumpulan burung yang bermigrasi terbang di langit serta matahari yang tepat berada diatas cakrawala. Sedangkan di bawah ada banyak orang berjalan menyesakkan jalan-- Arne kembali teringat pada sekumpulan semut . Banyak pula kendaraan yang kelihatan sibuk dan cepat berlalu lalang. Kini, Arne sedang berdiri di dekat jendela yang langsung dapat menikmati semua pemandangan itu. Ia merasakan pantulan cahaya keemasan yang menembus kaca di wajahnya.

Menyengat namun menyenangkan. 

Ia berdebar-debar akan sensasinya. Seolah ia telah mengenal semua itu. Kemudian ia tersadar oleh suara decitan daun pintu yang terbuka di belakangnya, sesuatu muncul dari sana. Bukan makhluk kabut tadi namun sesosok makhluk sebangsa dengannya. Arne tahu jenis kelamin manusia itu adalah laki-laki, dan Arne memperhatikan lelaki itu dari bawah, dia mengenakan celana pendek dan kaos berwarna biru langit senada, bertelanjang kaki lalu mendekati Arne. Selanjutnya ketika Arne hendak melihat wajah lelaki itu, garis garis hitam menghancurkan semuanya, mereka menghalangi wajah lelaki itu. Lukisan yang terpajang, pot bunga di sudut ruangan, meja , cermin, sebuah ranjang semuanya pun di halangi oleh garis-garis kusut-- yang dengan perlahan-lahan melahap satu persatu benda disana termasuk si lelaki dan ruangan pun terguncang hebat. 

Arne tak bisa bergerak sama sekali menghentikan garis-garis kusut yang memakan semua benda. Tak lama, semua menghilang karenanya kecuali lelaki itu. Sungguh Arne diliputi rasa penasaran. Namun kini seluruhnya buram. 

Blap! 

Arne tak tahu apa lagi yang terjadi, yang ia tahu adalah kegelapan sedang melumatnya, sangat dalam, tak berdasar ia jatuh dalam rengkuhan tangan hampa.

GENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang