03.

126 6 0
                                    

"Eh, Nak Iqbaal?"

Iqbaal semakin terkejut ketika wanita itu memeluknya tanpa aba-aba.

"Iqbaal, Tante kangen Iqbaal," ucapnya lagi, lirih. "Gimana kabar kamu?"

Iqbaal dengan kekagetan yang tak kunjung berhenti, membalas pelukannya. "Iqbaal juga kangen sama Tante," ucap Iqbaal tak kalah lirih. "Kabar Iqbaal baik. Kabar Tante juga, kan?"

Iqbaal rindu pelukan ini. Ia sangat rindu dekapan dari seorang ibu. Ia memejamkan mata, menikmati kehangatan dan kedamaian yang terpancar seketika di dalam lubuk hatinya. Hatinya yang hancur, kini mulai terbangun kembali.

Tak lama, wanita di depan Iqbaal melepaskan pelukannya. Iqbaal bisa melihat genangan air mata di wajah wanita itu.

"Ayo masuk," ucapnya. Ia menyentuh tangan Iqbaal, menuntunnya masuk. Iqbaal sedikit terlonjak ketika wanita itu menggenggam tangannya dengan erat. Seakan tak mau Iqbaal pergi bahkan menghilang seperti beberapa bulan ke belakang.

"Iqbaal duduk dulu, ya. Tante mau bikin minum."

"Makasih, Tante. Maaf Iqbaal malah ngerepotin. Dari dulu Iqbaal bisanya ngerepotin."

"Kamu nggak pernah ngerepotin Tante, Baal. Justru kalau ada kamu, Tante bawaannya bahagia terus."

Iqbaal tersenyum mendengarnya. Ia memperhatikan wanita itu sampai beliau hilang dibalik tembok.

Detak jantung Iqbaal kembali tak karuan. Lagi-lagi ia berpikir, apakah pilihannya datang kemari itu tepat. Bagaimana kalau lebih baik Iqbaal tidak menginjakkan kaki ke tempat ini lagi? Bagaimana jika-

Pikiran-pikiran negatif Iqbaal terhenti ketika wanita yang dia panggil Tante membawa nampan berisi segelas teh manis dingin, sekotak susu rasa melon, dan beberapa cemilan.

Iqbaal membantu wanita tersebut untuk meletakkan makanan dan minuman di meja.

Tante pun duduk di samping Iqbaal. "Baal, Tante baru inget. Tante tadi mau ke rumah tetangga. Gara-gara anak Tante yang ganteng ini dateng, Tante jadi lupa. Saking senengnya," ucap wanita itu panjang lebar. Ia mengusap kepala Iqbaal dengan lembut, membuat Iqbaal kembali tenang, "Nah, sekarang Tante mau ke rumah seberang dulu, ya."

"Oh, iya, Tan. Maaf, gara-gara Iqbaal, Tante jadi lupa sama urusan Tante. Maaf, Tan. Maaf."

Wanita itu pun berdiri. Ia tersenyum, lagi-lagi dengan tulus--Iqbaal dapat merasakannya. Ia menatap Iqbaal bagai melihat anak kandung yang hilang dan akhirnya ditemukan.

Saat itulah Iqbaal merasa hatinya yang baru saja membaik, kini hancur kembali. Dia tidak sanggup melihat iris mata hitam pekat yang menatapnya dengan tatapan seperti itu.

"Tante udah panggil Dianty ke sini. Kamu pasti dateng ke sini mau jenguk dia, kan?"

Deg. "I-iya, Tan. Sebenernya Iqbaal ke sini buat mastiin aja, kabar Dianty sama Tante gimana. Udah lama juga, kan, Iqbaal nggak ke sini. Iqbaal nggak mau ganggu Dianty yang lagi istirahat, Tan. Biarin aja. Iqbaal, kan, sering ketemu di sekolah."

"Jangan gitu, ah, Baal. Siapa tahu, Dianty jadi cepet sehat kalau ketemu kamu."

Semoga. Iqbaal memaksakan senyum.

Wanita itu melirik jam di dinding lalu menoleh pada Iqbaal. "Ya udah. Tante pergi dulu, ya. Itu yang di meja habisin, jangan lupa."

"Iya, Tan. Hati-hati."

Wanita itu pun keluar, tersenyum pada Iqbaal, lalu menutup pintu.

Tak berselang lama, Bibi yang bekerja di rumah itu datang sambil membawa sepiring kue yang bau khasnya masuk ke indra penciuman Iqbaal.

Kamu [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang