Edelweis

213 10 0
                                    

**** Melawan Sang Hasrat ****

Puncak itu terlewat sudah.
Ketika kaki letih mulai menyusur kebawah, menyisakan bunyi di dengkul yang terbebani oleh tubuh yang memanggul gunungan ransel di punggung.

Saat berhenti sejenak gigilan lutut yang kelelahan menahan beban, sungguh tak dapat ditahan.

Kemarin gigilan itu terasa dipaha, disertai bunyi gemuruh napas di dada yang menggelegak serasa mau memecah sang rongga, saat setapak demi setapak punggungan itu mulai didaki. Peluh mengucur, baju tak menyisakan sebuah tempatpun yang kering. Keringat di kening, mengalir ke mata, menyisakan rasa perih memerah karena resapan garam.

Ketika sang puncak dicapai sudah. Saat hamparan sang bunga abadi edelweis dalam rengkuhan, waktu cakrawala memerah dalam cahaya subuh temaram. Menyingsingkan bulatan sang mentari perlahan. Momen dimana diri mengecil dalam dahsyatnya adegan keagungan alam. Lalu air mata tak terasa mengalir ke pipi yang berubah legam. Itulah puncak-puncak pencapaian dalam hidup dan kehidupan. Sebuah hikmah yang tak akan ada cukup uang untuk membayarkan.

Kaki perlahan namun pasti melangkah kebawah, kearah perkampungan. Dari rimba yang hening sepi, menuju kembali pada keramaian. Tepat di pos pendaki, sudah saatnya badan kembali untuk diluruskan. Disana rombongan yang lain, sudah menunggu dalam lingkaran. Lalu pertanyaan klise itu muncul.
"Sudah nyampe ke puncak bung?" saat dijawab.
"Sudah".
Disusul pertanyaan lainnya.
"Mana buktinya?", yang mereka maksud bukti adalah serumpun bunga edelweis yang tumbuh di puncak, ketika dijawab dengan gelengan kepala karena tak sepotongpun bunga dalam genggaman, yang muncul adalah muka dan sorot mata ejekan, tanda ketidak percayaan.

Memetik bunga edelweis seolah menjadi bukti keberhasilan. Menjadi perangkat sang kejantanan. Meneguhkan bukti pencapaian. Menjadi sekedar pigura, bahwa "aku bisa". Cuma jadi hiasan yang verbal semata. Lali edelweis dalam genggaman, hanya menjadi bukti, bahwa sang puncak sudah tertaklukan.

Seolah kita lupa, bahwa edelweis sang bunga abadi, yang segar untuk dipandang, yang menjadi penanda harmoni alam, hanya tumbuh diatas sana. Menyebar di sela-sela awan dan embun pegunungan. Namun saat dipetik dalam genggaman, dia kan layu, kemudian terlupakan.
Sebuah kematian sia-sia, dari sebuah ego yang butuh pengakuan.

Padahal kejantanan, bukan di ukur karena kepemilikan, bukan diukur oleh bidangnya dada, atau oleh kekarnya sang pundak, apalagi hanya sebatas edelweis dalam genggaman.
Kejantanan diukur oleh seberapa besar rasa tanggung jawab.
Seberapa kuat mempertahankan sang martabat, seberapa kukuh untuk tetap menjaga dan melanggengkan sang pranata dan harmoni di alam.

Edelweis bunga indah dalam raihan sang syahwat berbisik perlahan "Petiklah, konon demi pembuktian, sungguh godaan batin yang melenakan."

Namun, ketika godaan itu tak dituruti, ada rasa bangga jauh dalam hati, karena tak membuat sesuatu menjadi mati, bahkan membiarkannya tetap lestari

Sekalipun kemudian, sang bunga edelweis, hanya tetap menjadi
kenangan romantis dari sebuah memori yang termanis.


**** Sesekali menulis tentang realita trend anak muda yang mencoba mencari jati dirinya, berpetualang ke alam merupakan banyak yang dipilih dan diminati, entah karna latah ataupun memang terpanggil dalam hatinya.

Terkadang mereka melupakan sebuah etika dan tatanan nilai kearifan lokal yang mesti di jaga, contohnya tak usah jauh-jauh termasuk saya sendiri pernah melakukan suatu vandalisme memetik sepucuk edelweis tanpa sadar di tahun 2012, kurun taun tersebut pendakian ke puncak gunung belum seramai seperti sekarang.

Penyesalan dan beban moral mulai dirasakan, sesungguhnya ke indahan yang di sajikan Tuhan yang maha kuasa tidak semua harus di miliki seutuhnya, cukup di pandang dan di abadikan lewat kamera digital saja, sudah berpartisipasi menjaga ekosistem.

Salam lestari dan ucapan salam rimba tidak hanya di mulut dan ketikan keyboard saja, menegur bukan berarti harus mengkritisi tapi bagaimana caranya mengedukasi. *****

Perjalanan Panjang Pecinta AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang