"Apa kau tidak bersikap bodoh? Jujur saja, aku selalu terheran-heran dengan dirimu, kawan..."
"Apa maksud perkataanmu, jendral Waraya?"
"Lihatlah, anak buah kita dan aku bersenang-senang setelah peperangan di Merapi dan kita menang! Kenapa kamu tidak turut merayakannya? Minumlah sedikit tuak atau arak ini, dan bergabunglah dengan kami..."
"Hmmm..." Windu hanya nyengir kuda dan menganggap ucapan jendral Waraya tersebut sepi belaka.
"Kau itu orang aneh! Lihatlah tawanan kita begitu banyak, rampasan kita melimpah ruah, hadiah makanan dan libur dari Paduka Yang Bersemayam di Mataram pun luar biasa... Tidakkah kau sadar?"
"Aku tidak tertarik dengan itu... Aku sudah terikat dengan sumpah..."
"Sumpah? Persetan dengan sumpah! Sumpah macam apa yang membuat sahabat seperjuanganku menjadi sedemikian aneh dan tak bisa menikmati hidup? Aku tidak rela sebuah sumpah keparat yang merenggut kesenanganmu!"
"Maaf, aku duduk saja... Aku sama sekali tidak tertarik dengan semuanya ini..."
'Kau tidak bercanda? Kalau toh masih kurang, lihatlah daging-daging di meja itu... Kelihatan lezat bukan? Di sana juga ada para gadis yang siap melayanimu, berbaringlah dengan mereka dan lepaskan kejantananmu! Dua malam ini janganlah kamu sia-siakan!"
"Nikmatilah semuanya itu... Aku pergi..." Windu melangkah keluar dari perkemahan yang ramai itu dengan langkah sendu dan muka pilu. Setapak demi setapak ia menuju ke sebuah tebing perbukitan selatan Merapi, tepat menghadap ke kerajaan Mataram nun jauh di sana.
"Ratri, cintaku... Adakah gerangan engkau disana mengingatku? Aku berusaha dan berjuang untuk hidup ditengah desingan anak panah serta sabetan pedang hanya untuk melihatmu... Aku merindukanmu, sayang... Meski raga ini tak mungkin untuk memberikan yang terbaik... Engkau sudah menjadi selir Yang Mulia Paduka... siapakah aku ini yang masih memberikan cinta kepadamu.... Oh jelita purnama, rindu ini tak tertahankan lagi..." gumam Windu dengan berhiaskan tetesan air mata dan suara isak tangis.
"Panglima Windu..." bisik halus suara itu menembus pepohonan yang menyembunyikannya. Suara itu sampai kepada seorang yang sakit cinta di tebing curam tersebut.
"Siapa di sana!" Windu kaget setengah mati sembari menoleh ke belakang.
"Ini aku..."
"Ah... Ratu! Mengapa Yang Mulia ada di sini? Maafkan hamba, hamba pantas mati!" teriak terkejut Windu yang dengan cepat menelungkupkan mukanya sampai ke rerumputan, sebab adalah sebuah kejahatan tak termaafkan bila pejabat negara yang lebih rendah dari jenderal melihat kecantikan Ratu Mataram dengan saling tatap mata. Tetapi justru Ratu tersenyum.
"Tidak ada orang disini, hanya kita berdua. Aku perintahkan kamu untu bersikap biasa dan menganggapku sebagai seorang biasa. Angkatlah mukamu dan mari kita berbicara..."
"Tetapi Ratu..."
"Oh, jadi kau berani melawan perintah Ratumu?"
"Tidak... Tetapi..."
"Laksanakanlah perintahku!"
Windu mengangkat mukanya pelan yang dipenuhi ketakutan luar biasa, sebab bisa jadi ini adalah detik-detik terakhir kehidupannya. Sirnalah sudah impiannya untuk bertemu Ratri. Berbagai peperangan telah dilaluinya, berbagai kesukaran telah dikalahkannya, tetapi oleh peristiwa yang tak terduga ini lenyaplah harapannya untuk terus hidup.
"Yang Mulia Ratu!"
.
.
Ratu memeluk Windu dengan eratnya. Windu memejamkan mata dengan perasaan yang sangat mencekam.
YOU ARE READING
S U C I
Historical FictionAntara cinta, gairah, ketetapan hati, dan perjuangan... Windu bertapak bagaikan angin yang lihai menembus celah-celah batu, meski lirih kesepiannya begitu memilukan, namun bayangan Gunung Dewa yang bercinta dengan Sang Dewi Api Merapi membuatnya teg...