"Baginda, bangunlah..." bisik selir Ratri di telinga raja Sri Sanjaya yang masih terlelap di pelukannya.
Pagi itu sungai Progo yang seakan membelah pulau dewa Dwipa dari pantai selatan Jawa sampai ke Dieng menampakkan kilau oleh karena sang surya telah menampakkan semaraknya. Pantulan cahayanya yang keperak-perakan seakan tidak peduli dengan kenyataan jelata yang sedang berkeriapan di persawahan sepanjang dataran di sebalah barat gunung-gunung suci tersebut; Merapi dan Merbabu. Tak mau kalah, kali Opak yang berhadapan menantang sungai Progo pun turut menghias pagi itu dengan pemandangan kejernihan air yang tiada bandingnya. Maka wajar sekali bila peradaban Mataram Kuno berpusat di antara dua sungai besar tersebut.
"Ada apa selir Ratri?" Raja Sri Sanjaya terbangun.
"Maafkan hamba, baginda... Arya, telah memasukkan sebuah lontar berisi surat kepada baginda. Dari tali pengikatnya yang berwarna merah, saya rasa itu adalah sebuah pesan yang tidak bisa dianggap remeh sehingga hamba memberanikan diri membangunkan baginda raja..."
Sedikit terkejut namun oleh karena Sri Sanjaya masih enggan beranjak dari kehangatan tubuh si selir, sang raja muda tersebut pelan-pelan menutupi tubuhnya dengan sehelai pakaian dan kemudian mengambil lontar yang berisi pesan rahasia tersebut.
"Ratri, terimakasih untuk malam yang bergairah... Sekarang siapkan aku seekor kuda dan katakan kepada Arya supaya ia menyiapkan penyamaran. Aku harus segera pergi tanpa diketahui..." Sri Sanjaya mendadak serius. Meski selir Ratri tersipu malu saat sang Raja mengucapkan terimakasih, namun keseriusan yang tergurat di wajah pria perkasanya itu seakan demikian aneh. Tidak biasanya Ratri melihat ekpresi seperti itu. Ia mulai menduga-duga apakah itu ekspresi marah, curiga, atau kecewa.
"Bersihkan badan Baginda, hamba akan mempersiapkan apa yang baginda minta..." jawab Ratri lembut sambil memakai pakaian sebab semalam-malaman itu mereka memang bergumul dalam kencana.
"Baginda!" Arya, mata-mata dan orang kepercayaan Sri Sanjaya menghadap dengan duduk sempurna; kaki bersila dengan telapak tangan menyembah dan ujung jari menyentuh jidat yang tertunduk.
"Angin Utara" kata raja lirih.
"Hamba pergi...!" setelah mendengar dua kata dari Sri Sanjaya tersebut, Arya cepat-cepat meninggalkan ruang pendopo kerajaan dan dengan seekor kuda hitam ia pergi ke hutan Canggal.
Angin Utara, adalah sebuah kode rahasia dari raja Mataram Kuno kepada orang kepercayaannya supaya ia dan beberapa orang yang bisa raja percaya berkumpul di suatu tempat. Suatu tempat yang bebas dari intervensi politik kerajaan, suatu tempat yang bebas dari intervensi ratu, bahkan suatu tempat dimana seorang raja pun harus menyamar dan menanggalkan seluruh atribut kekuasaannya. Namun demikian, Angin Utara juga adalah saat dimana seorang raja dapat sangat mudah mendapatkan celaka jika saja ada pemberontakan dari orang-orang yang ia percayai.
"Adakah sesuatu yang mengganggu paduka Raja pagi yang cerah ini?" suara Ratu Asty yang lembut namun amat tegas meluncur dari balik tirai pendopo kepada telinga Sri Sanjaya. Ratu datang diiringi dayang-dayangnya masuk untuk menemui Sri Sanjaya kemudian memberi penghormatan layaknya adat yang berlaku. Ratu Asty adalah seorang perempuan yang tinggi, berkulit putih bengkuang, dan amat cantik, ia mempunyai selera berpakaian yang cukup tidak wajar pada masanya sebab ia suka mengenakan pakaian dari lembaran kain biru muda yang dihias dengan tisikan benang emas berbentuk bangau yang menutupi tubuh bagian leher sampai ke kaki ganti kemben sebagaimana layaknya pendamping Raja pada zaman itu. Rambutnyapun terurai panjang sebahu sehingga dengan kenampakan sedemikian agaknya memang pantas ia dijuluki Mutiara Merbabu—tempat dimana ia dibesarkan. Berbeda dengan selir Ratri yang tidak terlalu tinggi namun memang memiliki penampilan paras yang kalem sehingga siapapun yang memandangnya akan timbul welas asih. Lagipula selir Ratri amat teguh dengan dandanan seorang putri Jawa yang bersanggul rambut dan memakai kemben ketat; daya tariknya memang pada bentuk tubuh indahnya yang selalu mengundang syahwat sang Raja dan kepatuhan penuh kepada rajanya.
YOU ARE READING
S U C I
Historical FictionAntara cinta, gairah, ketetapan hati, dan perjuangan... Windu bertapak bagaikan angin yang lihai menembus celah-celah batu, meski lirih kesepiannya begitu memilukan, namun bayangan Gunung Dewa yang bercinta dengan Sang Dewi Api Merapi membuatnya teg...