Rainy Days

556 59 24
                                    

Selalu ada disana pada awalnya.

Bersama mereka.

Jumlah ganjil yang terakhir.

Terasa amat familiar saat ia muncul, namun terlupakan begitu hilang.

Namanya adalah Lai Guanlin.

Saat ini hujan ; hari ini, jam ini, menit ini, detik ini, sekarang.

Dan dialah hujan itu sendiri.

•●•●•●•

Pernahkah kau mencoba menghitung berapa banyak tetes hujan yang menghujam bumi walaupun itu mustahil?

"Dia masih ada di rumah sakit, jangan membuatnya terkejut." Minhyun berkata sambil menyesap kopi di senja yang mendung. Jarinya memutari bibir cangkir. Mimik wajahnya terlihat lucu. "Kita bisa ditendang dari rumah sakit jika membuat keributan."

Kemudian ekor mata Minhyun terpojok pada Jaehwan yang kemudian mengatup rapat tawa maniaknya yang keras, bermaksud menyindir. Jaehwan memberi cengiran sambil mengacungkan tanda peace. Gelak tawa terdengar samar, bersahutan satu lama lain.

Rintik hujan mulai membasahi dinding kaca, bersamaan dengan itu, lonceng yang terpasang di atas pintu kafe berdenting lembut. Menandakan seseorang telah masuk.

"Oh, Guanlin!" Jihoon yang pertama kali menyadari sosok tinggi itu. "Kau terlambat sekali."

Sosok tinggi itu menjulang, dengan tubuh kurus dan senyuman lebar yang terkesan malu-malu. Kontras dengan sorot mata yang benar-benar tajam. Ia menarik salah satu kursi di meja besar yang dikelilingi sepuluh kursi itu. Ia duduk tepat di samping Woojin yang lalu menepuk bahunya kelewat bersemangat.

"Aku tidak janji akan datang." Suaranya rendah, sedikit bernada geli. "Bagaimana kabar Seongwoo-hyung?" kali ini ia menoleh pada Daniel.

"Dia baik, selalu baik." Kalimat Daniel tidak berupa pernyataan, lebih seperti pengharapan dengan doa yang tersirat samar.

Guanlin tidak pernah banyak berbincang, ia hanya diam dengan senyum terpulas di bibirnya. Mengamati satu persatu kesembilan orang yang hadir.

Ia dapat melihat kekehan Minhyun ; tawa keras Jaehwan (yang sepertinya memang sudah tidak dapat ditahan) ; Sungwoon yang tiba-tiba mengungkit hubungan tanpa status antara Daniel dan Seongwoo, sanggahan Daniel yang terbata ; Jihoon yang malu-malu ketika sikap imutnya disinggung ; Daehwi yang benar-benar banyak bicara dengan Jisung yang menimpali dengan semangat ; begitupun senyum tipis Jinyoung ; dan tawa keras dari Woojin saat ketahuan mengambil kentang goreng.

Guanlin hanya diam, selalu diam. Terkadang menimpali jika perlu. Ia menikmati perannya sebagai pengamat. Karena bagaimanapun, ia tidak pernah bisa lama-lama. Karena itu ia harus menikmati tiap detik saat mereka bersama-sama.

Dan Guanlin sendiri cukup senang, mereka sepertinya bahagia dengan candaan mereka, juga celetukan soal memberi kejutan pada Seongwoo nanti, setidaknya terlihat begitu saat ini.

Ia mendapati hujan mulai reda, Guanlin tahu waktunya telah tiba.

"Aku harus pulang sekarang."

Daehwi menggerung pelan. "Kau ini, selalu saja pulang lebih dulu. Tinggallah sebentar lagi."

Guanlin tertawa. "Aku benar-benar harus pergi. Maaf."

"Tapi nanti kau datang kan saat kejutan? Lusa nanti?" Jisung melempar pertanyaan dengan mulut sibuk mengunyah jeli dalam floatnya.

Hanya senyum yang terpulas di bibir Guanlin. "Kalau hujan," guraunya.

Yang lain tertawa. "Pulanglah, nanti orang tuamu khawatir. Cepat sana, hush hush." Usir Jaehwan sembari tertawa kecil.

"Wah jahatnyaaa." Guanlin meledakkan tawa, ia melambai. "Sampai nanti."

"Sampai nanti, Guan."

Lonceng berdenting lagi. Kali ini Guanlin berada di luar kafe. Dagunya menengadah ke atas, menatap awan mendung yang kini mulai pudar perlahan-lahan. Tepat saat cahaya mulai merembes dan tetes air terakhir jatuh, Guanlin perlahan lenyap.

Lai Guanlin adalah hujan itu sendiri, karenanya saat matahari muncul dan awan mulai memudar, saatnya ia pergi.

•●•●•●•

Jisung terlihat kerepotan membawa beberapa kado, dibantu Jinyoung yang membawakan beberapa snack dan minuman. "Semuanya sudah berkumpul?" tanyanya.

"Minhyun-hyung, Baejin-hyung, Jihoon-hyung, Woojin-hyung, Daniel-hyung, Jisung-hyung, Jaehwan-hyung, Sungwoon-hyung, lalu aku." Daehwi menunjuk satu-persatu. "Semua lengkap."

"Hanya sembilan?" tanya Jisung, nadanya terdengar tidak yakin.

"Sepuluh jika dengan Seongwoo," Sungwoon membalas, ia mengambil alih beberapa kado di tangan Jisung, "memangnya kenapa? Dari dulu kita memang sepuluh kan?"

"Tidak, kurasa ada satu orang lagi. Tapi siapa?" Jihoon angkat bicara, kini seluruh perhatian tertuju padanya.

Woojin mendepak kepala Jihoon main-main. "Jangan mengada-ada, mungkin hanya perasaanmu saja."

Minhyun yang baru muncul langsung memutus pembicaraan. "Ayo, kita kejutkan Seongwoo setelah perawat muncul. Jangan buat keributan berlebih. Oke?"

Yang lain mengangguk, langsung lupa dengan apa yang telah diperdebatkan sebelumnya.

Hari itu sangat terang, hampir terik namun cukup sejuk. Tidak ada tanda-tanda hujan.

Dan eksistensi Lai Guanlin terlupa oleh dunia. Ia hanya diingat saat tetes air menghujam bumi, namun kala cahaya mulai benderang, ia dilupakan. Keberadaannya terhapus begitu saja.

Karena Lai Guanlin adalah eksistensi hujan itu sendiri.

Ia nyata, namun semu.

•●•●•●•

Seongwoo terkekeh pelan mendapati kartu nama lucu dari teman-temannya. Tidak mempedulikan hujan deras yang menerpa kaca jendela ruang inapnya.

Ketukan di pintu membuatnya menoleh. "Masuk!" ia berseru dengan kekehan panjang.

Pintu geser terbuka, Seongwoo tersenyum lebar melihat siapa yang datang. "Kupikir Daniel, tapi dia tidak mungkin masuk dengan mengetuk pintu. Sini, Guanlin. Kenapa tidak bersama yang lain tadi?"

Guanlin tertawa pelan, menghampiri Seongwoo dan duduk di tepi ranjangnya. "Karena tidak hujan."

_________________________
END

Elegi | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang