Bagian 4

19 1 0
                                    

"Ini sekolahnya, La?" tanya kak Alif saat memberhentikan motornya di depan gerbang sekolahku.

"Iya, kak."

"Yaudah, nanti kalau udah pulang, hubungi kakak, ya."

"Emang kakak nggak kerja?"

"Nggak dulu. Hari ini bengkel di tempat kakak lagi di renovasi, jadinya, kakak libur."

Aku mengangguk aja.

"Yaudah, nanti aku hubungin kakak."

Kak Alif tersenyum. Habis itu, dia mengelus puncak rambutku. Terus, membenarkan rambutku yang kelihatan berantakkan.

"Sekolah yang rajin, biar bisa dapat beasiswa kayak kak Edgar."

"Iya, siap, bos ku."

"Yaudah, sana masuk."

Aku mencium punggung tangannya. Habis itu, aku masuk. Baru sampai koridor sekolah, aku melihat Kahvi lagi menjaili salah satu perempuan gendut sambil mengangkat tinggi-tinggi sebuah buku tulis.

"Kahvi, balikin, ish!"

"Nggak mau, ayo, ambil sini!"

"Nggak nyampe, kamu ketinggian!"

"Berusaha, dong."

"Kamu, mah, itu, kan, punya aku!"

"Yaudah, ayo, sini ambil. Wlee."

Kahvi berlari, terus, dikejar sama perempuan gendut itu. Aku cuma bisa melihat mereka dari kejauhan. Soalnya, kahvi sedang berada di wilayah IPA. Aku nggak mau pantat aku jadi korban lagi. Lagian, muka Kahvi juga masih banyak lebam begitu. Dasar kepala batu.

Akhirnya, aku lanjut berjalan ke kelas. Aku duduk dikursi pojok, kalau Liana di pinggirnya. Kelas sudah ramai, soalnya, kata Liana mau ulangan bahasa Inggris. Materinya, tentang Conditional clause. Kayaknya, aku harus berterimakasih sama kak Edgar. Gara-gara paksaan kak Edgar supaya aku harus belajar bahasa Inggris, sekarang aku jadi bisa. Walaupun awalnya memang agak malas, sih.

"Pagi, anak-anak." sapa Bu Reva.

"Pagi, bu."

"Hari ini, ibu mau ambil nilai ulangan harian pertama, ya."

Suasana disini langsung hening. Aku mengeluarkan kertas selembar saat bu Reva memberiku selembar soal. Disana, ada 20 soal, Essay pula. Untungnya, kak Edgar pernah mengajariku materi ini.

"Cala, bantuin aku, ya." bisik Liana, saat bu Reva kembali ke mejanya.

Aku melirik bu Reva, yang mulai sibuk sama laptopnya. Habis itu, kulirik lagi Liana yang menampakkan muka melasnya.

"Aku kerjain punya aku dulu, ya." kataku.

Liana cuma mengangguk aja.

Baru tujuh soal kujawab, tiba-tiba jendela disampingku di ketuk. Aku menengok, dan kudapati Kahvi yang sedang mengintipku sambil tersenyum lebar.

"Hai, Cala," kata Kahvi, suaranya seperti bisikkan.

"Kahvi, ngapain kamu disini?" kujawab.

Aku panik, aku takut bu Reva tau. Lagian, ini kan wilayah anak IPS. Kalau ada salah satu anak IPS yang tau Kahvi ada disini, habislah dia.

"Kamu lagi ulangan, ya?" tanya nya.

"Iya, kamu ngapain, sih, kesini?"

"Ini, jepitan kamu semalam nggak sengaja aku bawa."

Kahvi memberiku sebuah penjepit rambut pink. Ya Tuhan, pantas tadi pagi aku cari nggak ketemu-ketemu.

"Makasih." aku tersenyum.

"Aku yang harus bilang makasih."

"Emang kenapa?" kutanya.

"Semalam kan kamu udah obatin aku."

"Kan kamu udah bilang semalam."

"Aku pengen ngomong lagi."

"Dasar,"

"Ha ha ha."

"Udah, sana, pulang."

"Sekarang belum waktunya pulang."

"Maksud aku, pulang ke kelas."

"Nggak ada gurunya."

"Ke kantin aja."

"Nggak lapar."

Aku mendengus sebal. Dari SMP, Kahvi memang paling bisa membalas ucapanku untuk membuatku skak. Kadang, suka bingung kalau mau bicara sama dia. Kayak anak kecil, manja, butuh perhatian, tapi disisi lain, kalau dia udah marah, nggak usah ditanya lagi, deh, ke angkerannya seperti apa.

"Aku lagi ulangan, jangan ganggu." kataku.

"Mau aku bantuin, nggak?"

"Emang kamu ngerti?"

"Enggak, sih."

"Bodo." kataku malas.

"Ha ha ha."

Aku menarik telinganya.

"Ngeselin kamu, dari SMP nggak berubah-berubah." kataku.

"Kalau berubah, power ranger, dong."

Baru saja aku membuka mulut. Tiba-tiba aku melihat bu Reva sudah berdiri disamping Kahvi.

"Kahvi, sedang apa kamu disini?" tanya bu Reva, nggak bersahabat sama sekali.

Kahvi berdiri tegak, yang tadinya kepalanya dia sandarkan di sisi jendela. Sekarang dia berdiri di depan bu Reva yang lagi marah.

"Dan kamu, Cala. Kamu lagi ulangan. Berani-beraninya, ya, kamu asik-asikkan pacaran disini?!" omel bu Reva.

"Nggak, bu, saya nggak pacaran, kok." bantahku.

"Kamu fikir ibu nggak punya mata? Kamu, Kahvi, cepat pergi ke lapangan. Hormat ke tiang bendera sampai jam istirahat." kata bu Reva.

Kahvi cuma diam aja. Dia ini, lagi di hukum kok malah diam?

"Kamu, Cala. Ibu tambahkan lima puluh soal lagi. Wajib diselesaikan dan di kumpulkan di jam istirahat." katanya, lagi.

Aku menganga. Ya Tuhan. Dari dua puluh soal aja, aku baru selesai tujuh. Dan ditambah lima puluh?

"Bu, ini salah saya. Nggak usah hukum Cala." kata Kahvi.

"Nggak usah bela pacar kamu. Sudah sana, cepat laksanakan hukuman kamu, atau mau ibu tambah?"

"Enggak mau."

"Yasudah, cepat pergi."

Kahvi cuma menatapku. Tersirat bahwa dia meminta maaf. Aku menatapnya sinis, kesal. Dari SMP, dia selalu menyusahkanku, sampai sekarang. Tapi, yasudah, nasi sudah menjadi bubur. Toh, salahku juga yang tak bisa menjaga jarak dengan Kahvi.

"Nanti, tepat bel istirahat, temui aku dilapangan, ya." bisik Kahvi di telingaku, sebelum akhirnya dia pergi.

Aku menghembuskan napas. Lagi dan lagi, menjadi pusat perhatian di kelas. Saat berbalik, pandanganku jatuh pada Ervin. Yang memandangku sinis. Kenapa, sih, dia?

"Kamu, sih, La." bisik Liana.

Aku diam aja. Kuterima hukuman pertamaku ini dengan lapang dada.

CALA (Love you 'til I die)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang