"Bisa gue ngomong sebentar sama lo?"
Aku kaget. Saat tiba-tiba Ervin datang padaku lalu menahan lenganku yang sedang menyapu lantai. Aku menatap Ervin sebentar, lalu Fabian, lalu Agam. Jangan lupakan Liana yang juga mendadak kaku disampingku.
"Ngomong apa?" kutanya.
"Na, bisa keluar sebentar, kan?" kali ini, Ervin menatap Liana.
"Bisa, kok." jawabnya.
"Fab, Gam, lo juga, ya." Ervin menatap kedua temannya.
Aku diam aja. Habis itu, mereka bertiga keluar dari kelas. Meninggalkanku dan Ervin berdua disini. Seharusnya, setelah menyelesaikan hukuman dari bu Reva, aku harus menemui Kahvi di lapangan. Tapi, aku nggak mau terlalu dekat sama dia, aku harus jaga jarak, bagaimanapun juga, Kahvi adalah mimpi burukku.
"Bisa lo taro dulu sapu nya? Nggak enak, kan, gue ngomong tapi lo malah sibuk nyapu." kata Ervin.
"Iya, iya."
Aku menggantung sapu itu di dinding, tepatnya di samping lemari tempat untuk meletakkan buku. Aku kembali lagi pada Ervin, yang masih menatap gerak-gerikku.
"Lo pacaran sama Kahvi?" tanya nya langsung to the point.
Aku melotot tak percaya.
"Enggak."
"Kalo sama gue, nggak usah bohong. Lo backstreet sama dia?"
"Enggak. Kok kamu mikirnya gitu?" kutanya lagi.
"Nggak usah balik nanya. Mending lo jawab aja."
"Udah aku jawab kok."
"Bohong, kan, lo?"
"Aku nggak bohong. Aku sama Kahvi cuma temenan. Ehm, enggak, aku nggak mau punya temen kayak dia."
Ervin diam. Terus menatapku seolah mencari kebenaran. Aku mendongak, menatapnya balik dengan tatapan tantangan.
"Serius, lo?"
"Sepuluh rius."
"Tapi tadi dia nyamperin lo, sampe rela-rela pijakin kaki dia di wilayah IPS." katanya.
"Ya, aku, sih, nggak tau. Dia cuma mau kembaliin jepit rambut aku."
"Dia suka sama lo, berarti."
"Enggak!"
"Iya, gue sama dia sama-sama cowok. Lo aja, jadi cewek nggak mau peka."
"Apa, sih, kalau kamu mau ngobrolin soal Kahvi, mending nggak usah. Aku malas berurusan lagi sama dia."
Aku mau pulang. Aku kangen kak Franco, kak Alif, sama kak Dave.
"Tapi, Cala. Gue rasa cuma lo satu-satunya yang bisa bantuin gue." kali ini, Ervin menatapku lebih serius dari tatapan sebelumnya.
"Bantu apa?"
* * *
Aku masih setia. Menunggu kedatangan kak Alif yang belum kunjung datang. Aku duduk di bangku panjang dekat pos satpam. Untungnya, lapangan ramai karena di pakai eskul silat. Jadi, aku tak perlu iseng.
Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul lima sore dan kak Alif belum menjemputku. Aku kesal, apa kak Alif nggak jadi menjemputku? Mengapa, sih, laki-laki itu sulit dimengerti? Pertama, kak Alif. Kakak laki-lakiku yang sering menghilang tiba-tiba. Kedua, Kahvi. Ketiga, Ervin.
"Eh, Cala. Lagi nunggu jemputan?"
Aku menoleh. Itu Fabian.

KAMU SEDANG MEMBACA
CALA (Love you 'til I die)
Novela JuvenilNamanya, Kahvikry Rizkiandyfan Djajangkoesnandar. Tolong bilang padanya, aku membencinya. Tapi, nggak tau untuk hari besok. - Cala Kamila.