Hanya Ada Kegelapan

267 7 2
                                    

  Untuk pertama kalinya, aku tidak bisa merasakan meriahnya malam tahun baru seperti biasanya. Aku menyukai api, orang berpikir aku aneh, terutama teman-temanku, padahal aku sangat berharap bisa dianggap normal seperti anak-anak lainnya.

  Malam tahun baru adalah malam yang kutunggu-tunggu untuk melihat berbagai macam bentuk indah kembang api yang terlukis di langit hitam. Kembang api memiliki pola yang kusuka. Titik lemparan pertama jatuh bagaikan embun yang menetes di air bening, lalu titik itu mulai membesar berubah bentuk menjadi beragam percikan warna yang terang dan terbentuklah sebuah cahaya yang sangat digemari banyak orang.
 
  Bagiku cahaya tersebut memiliki banyak makna. Cahaya itu mewarnai malam dimana semua orang mulai berharap bahwa besok adalah harapan untuk menunjukkan suatu yang baru, kembang api adalah percikan cahaya yang membuat masa lalu cepat berlalu. Perpaduan suara ledakan akan membisik hati setiap orang, untuk menandakan sudah waktunya mencari cahaya hidup masing-masing. Dan untukku, mereka adalah api yang menghasilkan warna selain hitam.
 
  Hitam adalah warna yang membuat bola mataku tidak berfungsi, tak ada satupun warna yang berbeda, bagiku warna hitam menarikku pada dunia kegelapan, rasanya begitu sepi, terasa di sana hanya aku seorang diri yang berharap sebuah warna muncul mewarnai kegelapan. Di sana tak ada satupun orang menemani ataupun mendekatiku, terutama kegelapan itu menjauhiku dari sebuah cahaya pertama yang aku lihat, yaitu ibu.
Dan dimalam itu, pertamakalinya aku tidak melihat satupun warna menemaniku.
 
  "Sayang, sayang...kamu bisa dengar ibu?"
 
  Suara itu terdengar seperti orang yang kukenal, dimana aku tidak bisa hidup tanpa suara itu.
  "Ibu..?IBU! IBU! IBU...! IBU DIMANA! KENAPA SEMUANYA GELAP? KENAPA AKU TIDAK BISA MELIHAT APA-APA?!"
 
  Malam itu aku menjerit keras, aku sangat kesakitan dan ketakutan. Hanya ada suara dan genggaman kuat sedang menahan tubuhku yang meronta. Keringat dingin mengalir keluar, tangan dan kakiku bergetar. Aku menangis histeris layaknya orang gila yang mengamuk.

~~~

  Sudah seminggu aku masih belum merasakan  suasana di pondok kecilku yang hangat. Tempat keluarga kecil tinggal, sehingga menciptakan bermacam kisah  yang dimulai ketika orang tuaku menemukan pondok tersebut.

  Perban tebal berwarna putih masih menempel di kakiku. Plester menutupi luka di dahi dan lenganku yang terasa seperti luka bakar. Aku masih belum percaya atas apa yang terjadi, gejolak amarahku belum bisa kupadamkan. Kekesalan masih belum berhenti sampai aku menemukan alasan yang membuatku tidak bisa berteman dengan cahaya.

Ibu bilang kebutaanku belum diketahui penyebabnya dan juga belum diketahui dengan apa akan sembuh, tapi yang sudah jelas aku terkena buta berat.

  Ibu selalu menanyakan apa yang membuatku menjadi seperti ini. Aku hanya bisa membuka mulut  dengan kekosongan tidak tahu apa-apa. Semua terjadi begitu saja seolah aku bangun dari mimpi yang tak bisa ku ingat.

  "Kak, jalan-jalan yuk....aku bosen di kamar sini terus. Emangnya kakak gak bosan apa?"

  Apaan sih, kenapa anak ini selalu saja mengajakku bermain. Sudah 2 jam ia merengek-rengek memaksaku menemaninya bermain. Memangnya dengan jalan-jalan membuatku senang? Apa gunanya jika tidak ada yang bisa dilihat, apa gunanya dia berkomat-kamit menceritakan yang dia lihat, suasana hati sedang tidak bisa membuka telingaku untuk mendengar ceritanya. Belum lagi adik kecilku mempunyai kebiasaan berimajinasi yang tidak masuk akal. Aku tidak bisa langsung membentaknya begitu saja, aku tidak ingin dia melihatku marah hanya karena keadaanku seperti ini.

  "Maaf dek, kakak kali ini gak bisa. Kamu jalan-jalan aja sendiri sama ayah,atau sama kak Indra."

  "Kakak tuh buta atau amnesia sih, kak Indrakan kuliah, ayahkan lagi kerja di kantor."

Where My SoulWhere stories live. Discover now