Perkenalan dan Tugas yang Menyebalkan

45 3 0
                                    

  Gerimis hujan terdengar berjatuhan di aspal, suara tetesan jatuh memberi ketukan kecil di kaca mobil, dengan perlahan aku menyandarkan kepalaku dengan rasa hati yang masih kesal. Aku masih marah dengan sikap Aqilah yang mulai sok pintar. Dia lebih mementingkan dirinya harus tepat waktu ke acara bimbel yang belum tentu dihukum jika terlambat.

  Adikku, kakakku, ayahku, begitu serius menjalani kehidupan duniawi. Terutama saudaraku yang begitu serius mengejar nilai prestasi. Sebenarnya ketika  hidupku masih memiliki mata normal, aku begitu semangat menjalani impianku menjadi seorang dokter.

  Entah mengapa, semua prestasi yang telah kucapai adalah satu-satunya harapan yang membuatku masih bisa merasakan kebahagian hidup, terutama ketika itu aku masih bisa melihat berbagai bentuk cahaya yang mampir di perjalanan hidupku.

  Cahaya dari ibu membuatku ingin bangkit dari setiap kegagalan yang kualami, cahaya dari ayah adalah bantuan untuk mengisi kebutuhanku menjalani impianku, cahaya dari Kak Indra adalah sebuah pertemanan abadi yang tidak lepas dari kisahku. Dan juga cahaya dari Aqilah, dari dia aku banyak belajar untuk tumbuh lebih dewasa sebagai kakak yang mendampinginya. Tidak lupa dengan cahaya dari teman dekatku, hanya mereka satu-satunya yang melekat di perjalanan hidupku untuk mengisi keceriaan yang belum pernah kurasakan.

   Aku begitu merindukan cahaya itu, seharusnya aku lebih bersyukur ketika itu masih diberi kesempatan merasakan hangatnya cahaya dari mereka. Sehingga aku sangat menyukai api karena mereka begitu hangat dan terang seperti cahaya yang kutemui ketika aku masih bisa melihat. Satu-satu cara untuk menemui cahaya dari mereka adalah melihat kebaikan yang mereka miliki, kemudian perlahan akan muncul sebuah cahaya yang menerangkan kisahku.

  "Bu...klinik dokternya dimana? Apa...di apotik?" tanyaku dengan perlahan.

  "Klinik dokternya di rumah sakit, nanti kita sekalian nyari makanan yang bisa kamu makan." jawab ibu yang membuatku sedikit kaget.

  "Di rumah sakit?! Serius? Kita disana sampai jam berapa emang?" tanyaku meniggikan suara.

  "Ya gak tau sayang... sesuai dokternya berapa lama meriksanya, inikan meriksa psikologimu juga... paling sampai malam." jawab ibu yang membuatku semakin was-was. Aqilah yang duduk disampingku mengeluarkan decak lidah yang menandakan ia tidak menyukai sikapku.

  "Emang kenapa kalau pulang malem?" Tanya ibu.

  "Emmm... aku hanya... emm... eh, tidak apa-apa, aku hanya tidak suka suasana malam." jawabku memelankan suara kemudian menunduk cemas.

  "Yaudah kalo gitu tahan aja, ada ibu kok...." jawab ibu lembut.
 
  Suara hand rem mobil ditarik oleh Kak Indra, ibu segera keluar membawa payung dan membukakan pintu untukku. Kak Indra melanjutkan perjalanan mengantarkan Aqilah. Kata-kata Kak Indra yang terakhir kudengar adalah "hati-hati yah Jipeng, tetep waspada." ucapnya yang kurasa ia menyuruhku bertahan untuk sebentar. Seberapapun aku harus bertahan, sebentar lagi tetap akan menuju waktu malam. Aku tetap akan bertemu dengan mahluk yang tidak diingin dilihat oleh manusia.

  Selama berjalan aku hanya bisa menggenggam lengan ibu dan mengarahkan tongkat tunanetraku di tanah. Aku membuka mata selebar-lebarnya melihat keadaan sekitar jika ada yang tidak beres.

   "Udaah...ngak sampe gitu juga jelalatannya... ibu ngawasin jalanmu..." ujar ibu yang melihat keadaanku yang sedang was-was terus menoleh kesana kemari. Aku hanya terdiam menelan ludah berjalan perlahan mengikuti langkah ibu dengan jantung berdetak. Suara hening yang kudengar ketika itu membuatku ingin mengetahui seperti apa pemandangan yang kulihat saat memasuki pintu masuk yang diarahi oleh ibu.

  "Duduk sini dulu yaa...ibu mau konfirmasi dulu." ucap ibu memegang bahu dan lengan atasku. Aku menjawab dengan memantul tersenyum.

  Tak terasa adzan mahgrib terdengar, aku mulai melihat sekeliling, dan kurasa aku masih belum melihat apapun disekitarku.

Where My SoulWhere stories live. Discover now