Bab 2 : Takut Sendiri

131 14 1
                                    

"Ghif, kamu di kamar aku dulu coba."

Suara bisik sekaligus pelan kini mengganggu waktu santai lelaki itu yang tengah menikmati waktu istirahat nya. Tidak biasanya Adara repot-repot menemui dirinya yang berada di dalam kamar lalu menyuruh Ghifar berpindah ke kamar gadis itu. Ghifar menaikkan alis nya sebelah, lalu tak lama kemudian Ghifar mulai oenasaran.

"Ada apaan emangnya?"

Adara menunjuk pintu kamarnya yang terbuka itu. "Takut, aku iseng sendirian disana."

"Terus gue harus ngapain?"

Adara memegang tangan managernya itu. Dia menampilkan ekspresi memohon yang sedikit berlebihan seperti itu. Adara mengerucutkan bibirnya ketika Ghifar masih juga diam disana enggan menanggapi. Adara tengah merasa ketakutan, dan Ghifar sama sekali tak merespon untuk memeriksanya.

"Yaudah kalo kamu nggak mau periksa, aku tidur disini. Daripada disana sendirian,"

Ghifar menghembuskan napasnya kasar. Dia berdiri meletakkan earphone yang ada di atas perutnya tadi lalu memeriksa sesuai dengan laporan dari Adara.

Jarak antara kamar Ghifar dan Adara memang cukup dekat. Keduanya memang sengaja menempati apartement. Alasannya mudah, kesibukkan serta kesuksesan Adara sebagai seorang artis membuat rumahnya selalu ramai dengan penggemar. Melihat kesehatan ibu dari Ghifar yang mulai terganggu dan harus membutuhkan waktu istirahat yang cukup, akhirnya Ghifar dan Adara memutuskan untuk tinggal di sebuah apartement mewah.

Setiap hari mereka juga sering pulang ke rumah bertemu dengan Risa--ibu kandung dari Ghifar--yang sudah Adara anggap sebagai ibunya sendiri. Kadang ketika hari menjelang tengah malam, baru keduanya kembali ke apartement untuk menumpang tidur meski hanya sebentar.

Ghifar mengusap seluruh wajahnya dengan telapak tangan. "Nggak ada apa-apa, Ra."

"Tadi aku denger yang serem-serem disana. Besok kita pindah aja yuk, Ghif. Udah aku bilang kan kamu harus periksa semuanya."elak Adara yang meminta pindah apartement lagi.

Ghifar menghelakan napasnya, lelaki itu kini menyipitkan mata seakan tak menerima keluhan dari Adara. "Mau kemana lagi? Nggak ada apa-apa, itu cuman sugesti lo."

"Aku serius, Ghif."

"Gue lebih serius. Apa perlu gue atur pertemuan lo dengan dokter psikolog?"

Adara menggeleng. "Jangan,"

"Makanya jangan berpikiran aneh-aneh, sugesti lo juga jadi aneh. Udah ah gue mau tidur di kamar gue."Ghifar sedang mengambil ancang-ancang untuk pergi  namun tangan lelaki itu sukses di tarik oleh Adara.

"Ghifar Rahagi Prasetyo!"sahut Adara dengan kesal.

Ghifar menoleh ke arah Adara sambil mengedikkan bahunya. "Gue ngantuk jafi nggak ada waktu percaya sama begituan."

"Ghifar!"

"Ada apa lagi, Adara yang cantik?"

Adara memegangi telapak tangan lelaki itu sambil membuat arsiran disana dengan tangan kosong. "Aku takut,"

"Kamar gue disana, dan kamar lo disini. Jaraknya juga cukup deket, Adara. Jadi kalo sugesti lo masih berlebihan, tinggal teriak."

Adara melepaskan tangan lelaki itu. Dia mendengus kesal lalu menoleh ke arah jam dinding. Pukul satu dini hari. Adara yang setengah mati ketakutan tapi hanya ditanggapi lelucon oleh lelaki ini. Adara membuang napasnya kasar. Dia perlahan berlalu ke arah lemari lalu mengambil jaket jeans. Sedetik kemudian, Adara malah menggunakan jaket itu.

Close to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang