#01 : Suara Pikiran

30 8 6
                                    

Noiseance
Suara mengganggu yang terunduh tanpa persetujuan sang inang.

Sekali lagi rasa pening akibat suara tak berbentuk, datang mengodami kepalaku tanpa ampun. Kutukan bertudung berkah ini sudah sangat menganggu alur kehidupanku dan membuatku tersapih sebagai manusia.

Tak ada seorangpun yang sudi isi kepalanya dibaca oleh orang lain; orang yang sama sekali asing. kalau saja mereka bisa mengerti bahwa aku juga tak punya keinginan untuk membaca isi kepala mereka hanya saja tubuhku ini tak hentinya mengunduh tiap kata dari dalam kepala mereka.

Adakah solusi eksak tentang ini? Apakah pengucilan hanyalah satu-satunya jalan?

Perihal masalah ketidakadilan dan azazi, privasiku juga dilanggar! Siapa suruh mereka tak punya usaha untuk menutup rapat isi kepala mereka, siapa suruh mereka tak mencari jalan untuk anomali ini, siapa suruh mereka mencari jalan pintas dengan membenciku yang justru makin menguatkan kemampuan ini.

cacat!
gangguan mental!
gila!
kutukan!!
mati!..mati!..lebih baik mati saja...


Pemikiran serupa itu mereka hajatkan dalam kepala hanya untuk memuaskan dahaga kebencian mereka akan ciri pembedaku, jadi biarlah mereka meronta-geram atas keberadaanku di atas bumi ini..

======================

Senin pagi di Paramakarta, sedikit berkabut karena mentari masih setengah hati bersinar. Di tengah hiruk pikuk bus pagi hari, Caraka duduk menguap kantuk di hari pertamanya menyandang status sebagai siswa pindahan. Laju bus perlahan menurun setelah beberapa belokan akibat terkena jebakan macet. Dilihat dari tiadanya decakan kesal penumpang, hal ini mungkin lumrah terjadi pada jam-jam begini dan kembali terurai pada pada menitan kelima-satu menuju delapan menit akhir sebelum jam tujuh tepat.

Ketika dentangan bel masuk terdengar melalui pelantang kelas, Caraka baru saja selesai menuliskan namanya di papan tulis lalu memulai perkenalan singkat. Disambut dengan dengungan sesaat berdesibel rendah merupakan respon tipikal yang tak pernah absen ditunjukkan mereka terhadap anak baru di kelas.

Sesaat kemudian, Caraka telah berada di tempat duduk yang ditunjuk sang guru wali kelas. Berseberang dengan siswi rambut sebahu, yang enggan angkat wajahnya sedetik pun dan dipunggungi sejumlah siswa-siswi menatap acuh tak acuh sejak menit pertama aku menjejakkan kaki di kelas ini. Dua perlakuan yang paling dia butuhkan pada saat ini.

====

Di kota Paramakarta ini, para pemegang kapital nampaknya dianugerahi imunitas sosial sebagai hak pemegang strata sosial tertinggi. Hak khusus ini juga tersemat mentereng pada putra-putri mereka, yang lebih suka menyalahgunakan dibanding mengisi volum otak dengan pengetahuan yang berguna.

Bicara tentang mengisi volum otak dengan pengetahuan yang berguna, nampaknya tak mudah untuk mengunduh pelajaran yang lima menit lagi sesinya akan berakhir. Tidak dengan semua dengungan berisi obrolan sampah berasal dari sekitarku yang akhirnya berangsur reda saat bel rehat makan siang berbunyi.

Kuputuskan untuk menyepi ke atap dengan mengundaki tangga alih-alih pergi ke kafetaria sekolah, karena untuk sekarang ini aku lebih butuh ketenangan dibanding mengunyah makanan.

Atap memiliki daya tarik tersendiri bagiku, bukan karena ingin terlihat seperti 'serigala penyendiri' yang selalu nampak keren dan misterius di anime atau game melainkan alasan elevasi, dimana satu-satunya suara yang terdengar ialah semilir angin dan puncak julang gedung sekitar jadi pemandangan sekeliling.

~Tsuzuku~

Noise-ance 《Slow Update》Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang