Sejak kejadian hari Senin itu, ia menjadi seorang yang lebih pendiam. Merasa bahwa itu sangat memalukan. Ia merasa terus dihinggapi bayang-bayang mengerikan itu.
'Oh Tuhan, aku sangat tidak biasa seperti ini.' batinnya. Untungnya hari ini adalah sabtu, ia libur bekerja. Ia butuh solusi atas semua yang terjadi.
Ia membuka gerbang tinggi dan tua, dan masuk. Ia bisa melihat tidak ada yang berbeda sejak ia pernah tinggal disini, tentu saja.
Ia memilih mengambil minum, dan berjalan kearah halaman rumah ini yang berisikan halaman lantai rumput dengan rumah pohon tua juga kolam ikan lumayan besar. Disitu ia melihat pria tua sedang berdiri tegap menghadap ke arah kolam ikan dan rumah pohon yang bersebelahan itu.
Beberapa menit, ia hanya memandangi pria itu dengan perasaan sedih. Ia baru melangkah pelan kearah pria tua tersebut.
Saat belum dekat dengan pria itu, pria itu sudah berbalik menghadap kearahnya. Sangat lambat.
"Aku tahu kau datang."
Joey seketika berlari dan memeluk pria tua itu. Pria tua senyum pria itu mengembang taktakala Joey sudah mengeluarkan ingusnya akibat menangis.
"Aku merindukanmu."
"Aku lebih merindukanmu ayah."
"Gadis kecilku, kau mau permen loli?"
"Aku mau..!!!" ia berhenti menangis.
"Bagus, kalau tidak kau masih menangis. Ingusmu itu akan membanjiri bajuku."
"Aku tidak pernah mendapatkan permen loli sejak aku tidak tinggal lagi disini."
"Kau akan mendapatkannya sebentar lagi."
--------------------
Sebenarnya tayangan televisinya tidak menarik, pasalnya ia sedang menonton film Beauty And The Beast. Bersama ayahnya tentunya. Tapi ia sudah bosan.
Tujuannya kesini adalah satu, berhenti dari pekerjaannya. Dia tidak mau hidupnya seperti ini. Ia malahan lebih ingin membuka usaha butik atau restoran. Itu lebih normal menurutnya. Tapi saat ini yang ia lihat adalah perasaan dan sikap ayahnya yang sangat kesepian. Joey tidak tega tentunya.
"Ayah," ia melihat ayahnya yang masih menatap layar televisinya fokus. "Ayah, bagaimana keadaan ibu?" dan akhirnya ayahnya menoleh kepadanya.
"Kalau yang kau maksud Diana, ya dia baik-baik saja. Aku sudah memberitahukan bahwa kau ingin dikunjungi." Ayahnya berhenti sejenak, "tapi aku tahu, ia tidak pernah mengunjungimu. Apakah aku benar?" Joey mengangguk atas pertanyaan itu.
"Ayah," Joey terkejut meminta penjelasan.
"Aku mencoba membujuknya untuk kembali kerumah ini. Tapi ia selalu menolak. Aku memang brengsek sehingga meninggalkannya selama bertahun-tahun. Aku berhak mendapatkan ini."
"Ayah, kau masih mencintai ibu?" Joey bertanya serius. Posisinya sudah berhadapan dengan ayahnya.
Joey bisa melihat betapa hancurnya hati ayahnya saat ibunya tidak mau lagi bertemu apalagi harus tinggal bersama ayahnya lagi. Joey merasa kasihan dan tidak menyangka apakah sesakit itu bila ditinggalkan seseorang yang ia kasihi, sama seperti yang ibunya alami.
Joey pernah berfikir tentang menikah, tapi itu sudah lama sekali. Dengan sahabat kecilnya Jonathan. Ia berfikir bila menikah dengan Jonathan Gesriano adalah hal yang menyenangkan. Membayangkannya saja Joey merasa konyol. Jonathan saja dua bulan yang lalu sudah mendapatkan anak keduanya dari isterinya yang Joey tahu bernama Cristie Fandelle.