FB - 8

27 1 0
                                    


"Nih, buku lo."

Ferick mendongak, menatap Ari yang baru saja meletakkan buku tulis tugas Ekonomi yang ia pinjam minggu lalu. Diraihnya buku itu sambil sesekali mengeringkan rambutnya yang masih sedikit basah dengan handuk cadangan milik Ari.

"Jadi?" Tanya Ari kembali membuka suara.

"Ambilin gue makan dulu kek, Ri, apa gitu. Gue 'kan laper. Kalo gak makan, mana ada tenaga buat cerita."

Ari mendecak kesal. Sahabatnya ini memang tidak tahu diri! Sudah datang malam-malam, numpang mandi, minta menginap, dan sekarang menyuruhnya untuk mengambilkannya makanan?!

Namun semenit kemudian, cowok jangkung itu menyengir lucu. Agak-sedikit-tidak pantas, sebenarnya, mengingat wajah Ferick yang lumayan sangar-sangar-sange.

"Jadi, tadi abis dari Gereja, gue mampir gitu ke rumah Vita."

Ari mulai tertarik. "Terus, terus? Vita-nya ada?"

Ferick menggeleng lemah.

"Yaaaahhh,"

"Tapi, tapi, gue ketemu Nyokapnya!"

Alis Ari naik satu, "bukannya lo udah sering ketemu Beliau, ya? Lo bilang, tiap pagi lo nyapa doi terus."

"Ya beda, lah! Kalo kali ini, gue ketemu Beliau, diajak masuk ke rumahnya, dibuatin minum, dibawain cemilan, kue-kue, biskuit-"

"Rick," peringat Ari sebelum Ferick mulai ngelantur sana-sini.

"Pokoknya gitu, kita berdua ngobrol lumayan banyak. Tapi, Vita-nya malah nggak ada,"

"Doi kemana?"

"Katanya diajak ke rumah temen lama Bokapnya."

Ari manggut-manggut paham. "Terus, gimana selanjutnya?"

"Ya udah."

"Ya udah?" Ferick mengangguk cuek. "Ya udah gimana?"

"Ya udah gitu aja, abis ngobrol sejam, gue langsung balik."

Ini yang bego gue apa nih Curut, sih?!

Oke Ari, sabar.

"Kalian berdua ngomongin apa aja?" Tanya Ari setelah menetralkan diri.

Ferick tersenyum tipis. "Gue sama Nyokapnya belom ngobrol banyak, sih. Cuma sekadar nanya gue sekolah dimana dan rumah gue dimana, juga dengan bumbu kaget si Tante karena ternyata anaknya sama gue satu sekolahan."

Ari manggut-manggut lagi. Sementara Ferick terlihat baru mengingat sesuatu.

"Oiya, Nyokapnya juga ngasih gue nomor telepon Vita!"

"SERIUS?!"

"Iya, ah, tapi lo biasa aja dong." Ferick jadi keki sendiri melihat reaksi Ari yang berlebihan—memandangnya dengan mata yang nyaris keluar, serta ponselnya yang ia lempar di sisi lain sofa.

"Oke, oke, tapi... nomor HPnya? Wah, Rick, suatu progress yang lumayan tuh! Ya udah tunggu apa lagi? Lo telepon dia!"

Bahu Ferick seketika melorot. "Lo yakin, bakal diangkat? Ini juga udah lumayan malem, dan besok Senin. Gue sangsi Vita bakal angkat, karena, ya lo pikir lah. Ini nomor gue pasti asing di HPnya."

"Ck," decak Ari. "Di sekolah, lo berani gangguin. Lah giliran disuruh nelpon baik-baik malah nggak mau, gimana sih!"

"Y-ya nggak gitu, gue 'kan ...,"

"Apa? Apa? Nggak bisa jawab 'kan? Udah, tinggal pencet nomor dia terus deketin ke telinga."

"Terus, nanti gue bakal ngomong apa?!"

"Ya apa aja terserah lo. Jangan sok polos deh, kayak gak pernah teleponan sama cewek aja."

"Ya tapi 'kan ini beda, Ri, beda."

"Apanya yang beda? Mantan-mantan lo cewek 'kan? Nah Vita juga cewek. Beda cuma di nama doang. Udah buru telepon!"

Ferick masih bergeming.

5 detik.

10 detik.

30 detik.

Ari mulai kehabisan kesabaran. Direbutnya ponsel hitam milik Ferick dan dalam sekejap, layar hitamnya sudah berubah menjadi panggilan pada nomor dengan nama 'Vita-min'.

Ferick melotot.

Sementara Ari sedang tersenyum miring sebelum akhirnya kembali menekuri ponselnya untuk berbalas pesan dengan Intan.

Terdengar nada sambung ketiga. Ferick menahan napas. Berharap seseorang di seberang sana sudah tidur, asik belajar, salto, atau ngapain lah, pokoknya. Supaya, dia tidak bisa mengangkat panggilan.

Ari sudah ingin mencebik, berpikir bahwa Ferick malam ini beruntung, namun ....

"Halo?"

Suara Vita!






[]

BS [1]: Freaky BelovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang