Seorang gadis sedang mengusap sisa-sisa air mata yang menetes dari mata cantiknya, ia menatap jejeran buku-buku yang ada di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu, tatapannya beralih pada buku novel yang tadinya ia baca dan terjadi perdebatan kecil dengan seseorang yang amat sangat ia sayangi. Alhasil, ia hanya fokus menangis seorang diri tanpa memedulikan buku yang sudah tertutup.
Sang Pembuat Luka meninggalkan setelah kata-katanya berhasil menusuk luka yang belum kering di hatinya. Rasa perih dan sesak berhasil merangsek masuk ke dalam dadanya, inikah yang namanya mencintai? Gadis itu memegang dadanya yang berdenyut nyeri, tanpa sadar tangannya mengepal seolah-olah rasa sakit yang ia rasakan bisa menguap.
Nyatanya ia salah, gadis itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Seiring kepalan tangannya mengerat, lara itu semakin menggerogoti hatinya. Air matanya menetes dari pelupuk matanya, ia kalah lagi. Ia menenggelamkan wajahnya di dalam lipatan tangan yang ia buat di atas meja. Gadis itu menikmati lara yang ia terima seorang diri.
"Ashila."
Panggilan seseorang membuat gadis itu menghentikan tangisnya dan mengusapnya dengan perlahan. Ia menghadapkan wajahnya ke tembok guna menghindari pertanyaan-pertanyaan yang akan ia dapatkan. Gadis bernama Ashila itu menghela nafasnya pelan dan menoleh ketika merasakan punggungnya ditepuk perlahan.
"Lo nangis?!" sergapnya.
Ashila mencoba menggeleng dan tersenyum, hanya saja hal itu tidak langsung membuat gadis di depannya percaya. "Ayo kita balik ke kelas," kata Ashila berdiri dan menaruh kembali buku yang ia ambil di rak.
"Lo nangis kenapa? Gara-gara Genta lagi?"
Ashila hanya menghela nafasnya pelan, ia menatap sahabatnya. Sahabatnya yang tau segalanya tentangnya, tentang hubungannya dengan seseorang yang ia cintai dan tentang bagaimana dirinya sangat mencintai cowok itu- Rayya tahu semuanya.
"Ayo ke kelas."
Rayya menatap wajahnya dan mengangguk, ia bersyukur karena perpustakaan sekolah sangat sepi karena ini adalah jam pelajaran. Kelas Ashila dan Rayya sedang tidak ada guru membuat mereka bebas ke perpustakaan, ataupun ke kantin selama tidak ada guru yang memergoki mereka.
***
Matahari sudah berada di atas kepala, hanya saja seorang cowok tengah bermain bola basket di saat cuaca sedang panas. Ia tidak peduli apapun, ia seakan tengah melampiaskan sesuatu. Ia melempar bola ke ring kuat-kuat, hingga bola menabrak papan yang ada di belakang ring. Kuat lemparan bolanya membuat suara yang dihasilkan cukup keras.
"Genta! Panas woy, ntar lo item."
"Hooh, tahu tuh ntar Ashila nggak mau lagi sama lo!"
"Gue tikung kalau Genta udah item!"
Teriakan sahabat-sahabatnya yang ada di bawah pohon membuat Genta menatap mereka tajam, apalagi saat mereka membawa nama Ashila. Genta langsung melemparkan bola ke arah sahabat-sahabatnya membuat ricuh di seberang sana, gelak tawa dari sahabat-sahabatnya membuat Genta menghela nafasnya pelan dan menghampiri mereka.
Seseorang melemparkan botol mineral air dingin ke arahnya yang tentu saja langsung ditangkap dan diminum oleh cowok itu. Peluh yang menetes dari pelipisnya menambah aura ketampanan Genta, "punya siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay with Me!
Teen FictionKamu itu kayak es krim, dingin tapi manis. Sebuah hubungan yang terlihat begitu manis di depan, belum tentu juga manis di dalam. Menjalin hubungan yang banyak diidam-idamkan teman seumurannya, nyatanya tak membuat hidupnya sempurna. Ia pikir bersama...