Wanita paruh baya duduk melamun di teras rumahnya, sesekali mengelus perutnya. "Kelak, jadilah anak yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa, Nak" Ya, wanita berdaster motif bunga-bunga itu sedang mengandung delapan bulan, ia menanti kelahiran anak keduanya. Ia tidak berpikir mengharap anak laki-laki atau perempuan, satu yang ia harapkan agar sang bayi nantinya bisa jadi orang berguna. Sore itu, sang suami, Yanto baru datang dari ladang, Warsih menyambut kedatangan suaminya itu dengan sumringah.
"Apa sudah tidak sakit lagi, Bukne?" tanya sang suami melihat wajah istrinya tidak semuram biasa. Sudah beberapa hari, Warsih mengeluhkan sakit di bagian punggung dan perutnya kerap sakit tak karuan. Dua kali sang suami membawa Warsih ke dukun beranak kali-kali mau lahiran, ternyata menurut sang dukun yang sering dipanggil Mbok Jah oleh warga desa, mengatakan bahwa bayi dalam kandungan Warsih sungsang, artinya posisi kepala si jabang bayi berada di atas. Selain pandai urusan perbayian, sang dukun juga ahli spiritual, ia meramalkan bayi Warsih akan jadi bayi ajaib. Awal kehamilan saja sudah dikira keguguran karena sempat pendarahan. Dugaan itu salah ketika terhitung dua bulan setelahnya, perut Warsih membesar normal kembali. Untuk urusan ngidam, Warsih tergolong rewel, ia pernah meminta suaminya mengambil batu di ladang tengah malam. Pernah ngidam suaminya tidak boleh memakai baju merah. Jika tidak dituruti, Warsih marah-marah memerahkan telinga suaminya. "Bukne ini ngomel-ngomel terus, nanti nular sama bayinya." Jika sang suami memberi komentar seperti itu, Warsih menghentikan omelannya, berharap bayinya kelak tak jadi anak pemarah. Omongan suaminya itu hanya sebentar terlaksana, lalu Warsih kembali jadi pemarah dan cerewet. Warsih pernah mengomentari keringat suaminya yang bau hingga cara berjalan suaminya yang katanya aneh. Untuk urusan mendengkur pun jadi masalah tersendiri, apapun tingkah suaminya terlihat salah di mata Warsih semenjak ia mengandung anak kedua. Semua itu berbeda sekali dengan kehamilan anak pertamanya.
Dalam hati kecil Yanto "Beginikah nasib suami, selalu jadi sasaran omelan? Lalu bagaimana nasib suami yang istrinya sudah pernah hamil tiga sampai lima kali? Atau hanya dirinya yang bernasib naas begini?" Apa daya, Yanto menurut saja apapun permintaan Warsih, ia tidak mau bayinya akan ngileran. Akan tetapi, di tengah buasnya omelan sang istri, Yanto tetap tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai suami, begitu juga Warsih. Petang itu, melihat istrinya sumringah menyambutnya, Yanto mendekatkan kupingnya ke perut istrinya dan berupaya mendengar tiap polah sang calon jabang bayi. "Jadilah anak baik dan berbakti kepada orangtua," ucap Yanto pada calon buah hatinya.
Pagi hari langit sedikit mendung, tapi tidak hujan. Langit sedang menyediakan keteduhan bagi manusia di bawahnya. Suasana balai desa ramai para warga yang hendak memilih kepala desa. Ya, hari senin itu dipilih sebagai hari pemilihan orang nomor satu di desa mereka. Gambar padi, jagung, dan kacang terpampang, para kandidat duduk di kursi yang sudah disediakan. Tentu warga yang datang punya jagoan masing-masing, termasuk pasangan Warsih dan Yanto. Yanto sudah melarang istrinya ikut mencoblos, namun Warsih bersikukuh ikut karena tak ingin menyia-nyiakan hak pilihnya.
"Auh........!!" Warsih yang berdiri tak jauh dari gerbang balai desa, menunggu panggilan nomor antrian mencoblos, tiba-tiba badannya lunglai, terjatuh ke tanah. Warsih menjerit kesakitan sambil memegangi perutnya. Darah merah segar mengalir ke kakinya. Sang suami yang melihat itu, bergegas meminta pertolongan warga lain untuk mengangkatnya.
"Ayo angkat bersama!!"
"Tapi ini mau di bawa ke mana, Kang?"
"Kalau ke rumah kang Yanto terlalu jauh, apa ke rumah Mbok Jah saja?" kata seorang warga memberi inisiatif.
"Sudah sudah! Kita bawa ke dalam balai desa saja," celetuk seseorang yang ikut mengangkat Warsih.
"Iya iya ayo!"
Yanto hanya manggut-manggut saja. Dalam keadaan segenting itu, ia tidak bisa berpikir apa-apa. Tidak mungkin jika istrinya di bawa ke rumah, jarak lumayan jauh, sehingga balai desa memang tempat paling memungkinkan. Saat itu juga, otomatis balai desa jadi ruang bersalin dadakan. Seorang warga yang diminta memanggil Mbok Jah sudah datang, lalu sang dukun beranak segera menangani Warsih. Ia berkali-kali meminta Warsih ngeden, warga desa yang tadinya antri mencoblos jadi ikut harap-harap cemas menunggu kelahiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Budi
General FictionLahir tahun 80-an? Tau sosok Budi yang sering nongol di buku paket sekolah dong, ya. Kangen gak sih sama Budi? Yuk, kangen-kangenan sama Budi sambil nostalgia bareng.