Setelah kejadian mati suri yang pernah dialami, Budi tumbuh sehat, tak pernah sekalipun ia sakit, berkat orang-orang sering mendoakan kesehatan Budi siang malam. Setelah Budi lahir, warga desa lebih suka memanggil Yanto dengan sebutan bapak Budi, Warsih dengan ibu Budi, dan Wati sering dipanggil kakak Budi. Pemberian nama itu bukan tanpa alasan, pernah suatu hari seseorang berniat pergi menjenguk Budi, orang itu bertanya-tanya di mana rumah Budi, saat seorang warga memberitahu letak rumah kang Yanto di sebelah timur gang, wanita itu ngeyel bahwa yang ia cari bukan Yanto, tapi Budi si anak ajaib. Baru setelah dikasih tahu bahwa Yanto adalah bapaknya Budi, wanita itu mengerti. Demi tidak adanya kesalahpahaman lagi, warga desa sepakat menyebut semua anggota keluarga Budi tidak menggunakan nama masing-masing.
"Mau ke mana malam-malam begini, Mbah?"
"Mau ke rumahnya Budi, nganter makanan," jelas wanita tua ketika ditanya tujuannya berjalan sendirian. Hal seperti ini tidak sekali dua kali terjadi, para tetangga Budi yang rumahnya dekat menjadi saksi mata, sering ada seseorang yang tiba-tiba datang ke rumah Budi, sekadar menjenguk, kadang membantu ibu Budi memasak, hingga ada yang rela menginap di rumah Budi, entah apa alasan di benak orang-orang itu. Satu yang jelas, mereka begitu bahagia bertemu Budi, meski tidak ada hubungan keluarga. Warga berharap Budi panjang umur dan terpenuhi kebutuhannya.
Wanita yang sudah pantas dipanggil nenek itu sampai di rumah Budi, kedatangannya disambut kakak Budi, ia dipersilakan masuk.
"Ini Mbah bawa sedikit makanan."
"Terima kasih, Mbah" kakak Budi menerima bungkusan yang diserahkan padanya
"Kamu ini kakaknya Budi? Duh menik-menik."
Kakak Budi tersenyum dibilang cantik
"Mbah nginep di sini saja, besok baru pulang," pinta ibu Budi melihat hari semakin gelap, akan berbahaya bagi seorang nenek tua berjalan malam hari.
Keesokan hari, baru nenek yang semalam menginap pulang, datang pasangan suami istri dari desa seberang. Mereka mengungkapkan maksudnya pada ibu Budi dan bapak Budi.
"Kami ini ke sini mau minta rahasia biar punya anak,"
Bapak dan ibu Budi kaget mendengarnya, ini pertama kali ada orang datang kerumah mereka dengan maksud lain, tidak ada sangkut pautnya dengan Budi.
"Setahu kami, ibu Budi ini sudah berumur tapi masih bisa punya anak, sedangkan istri saya belum juga punya anak di usia segini. Dan kebetulan kami baru datang dari luar kota, ini ada oleh-oleh sedikit untuk Budi dan keluarga" jelas lelaki tua berbaju biru itu tanpa sungkan.
"Ayo Budi ucapkan terima kasih sama paman dan bibi," pinta ibu Budi
"Telima kasih." Diucapkan Budi sedikit lucu karena ia masih susah mengucapkan huruf r. Tak terasa memang empat tahun berlalu setelah kelahiran Budi. Ia telah bisa berjalan. Saat ia berbicara, dua gigi tanggal di bagian depannya terlihat, akan bertambah lucu saat ia tertawa.
"Kami tidak ada rahasia atau resep apa-apa, semua kami serahkan sama Yang Maha Kuasa. Semua pasti sudah diatur sebaik-baiknya. Saran saya, kalau bisa istri bapak ini jangan bekerja terlalu berat."
"Istri saya ini sudah saya larang ikut jualan di pasar, tapi tidak mau." Obrolan mereka berlanjut, namun tak berselang lama setelah mereka menghabiskan teh yang disuguhkan kakak Budi, pasangan suami istri itu pamit pulang. Ibu Budi melahirkan Budi diusia 25 tahun, usia tua bagi wanita melahirkan di masa itu.
Kadang bapak Budi terpaksa menunda pergi ke ladang karena tamu-tamunya. Bapak dan ibu Budi lebih suka anaknya disebut anak ajaib, bukan anak yang bisa memberi pertolongan, seperti yang terjadi di beberapa daerah. Budi ibarat magnet yang membuat orang di sekelilingnya ingin mendekat. Celoteh Budi membuat orang-orang senang. Begitu terkenalnya keluarga Budi, seorang tetangga memasang plakat bertuliskan "Gang Budi," di jalan sebelum masuk gang kecil rumah keluarga Budi. Otomatis, sejak hari itu tidak ada lagi orang yang nyasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Budi
General FictionLahir tahun 80-an? Tau sosok Budi yang sering nongol di buku paket sekolah dong, ya. Kangen gak sih sama Budi? Yuk, kangen-kangenan sama Budi sambil nostalgia bareng.