Pursue Him! (Part 2)

62 2 0
                                    

"Kalau begitu, kejarlah Paman Fadhil, ibu. Pasti masih belum jauh. Lagipula, aku juga ingin punya ayah sebaik Paman Fadhil,"

"Tapi..."

"Tidak apa-apa," Zuan menggeleng. "Aku akan jaga rumah selama ibu pergi. Aku tidak akan membukakan pintuk untuk siapapun kecuali ibu... dan Paman Fadhil. Aku kan sudah cukup besar,"

"Baiklah," Amira bangkit dari kasur penuh semangat. "Ibu akan mengejar ayahmu,"

Wanita itu mengambil tas jinjingnya. Tanpa berdandan dan semacamnya, dia hanya mengambil selembar tisu di atas meja rias untuk menghapus air mata yang tersisa. Wanita itu lalu mengambil handphonenya di atas meja kemudian menghubungi laki-laki itu.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."

"Paman Fadhil mengganti nomor teleponnya demi memutus hubungan dengan ibu..." kata Zuan lirih. "Tapi ibu masih bisa mengejarnya, kok."

"Iya, ibu tahu," jawab Amira tenang. "Apa Zuan bisa memberi petunjuk ke mana ibu harus pergi?" Tanya ibunya seperti menantang.

"Tadi aku melihat Paman Fadhil membawa banyak barang di mobil yang ditumpanginya. Di dalam mobil, ada seorang supir yang tidak begitu akrab dengan Paman Fadhil, berarti mungkin Paman Fadhil menyewa mobil sekaligus sopirnya. Paman Fadhil bilang mau merantau dan tidak akan kembali, tapi tidak pakai kendaraan sendiri, padahal paman suka trip dengan kendaraan pribadi, kemungkinan Paman Fadhil menjual kendaraannya karena akan pergi ke luar pulau yang memaksanya naik pesawat atau kapal laut. Kalau dilihat dari packing barangnya yang sangat rapi seperti mau naik pesawat. Barang bawaan Paman Fadhil terlalu banyak, jadi butuh bagasi pesawat yang lebih besar. Sementara paman menyewa mobil sekaligus sopirnya, artinya Paman Fadhil adalah orang yang suka praktis dan tidak terlalu berpikir panjang masalah finansial, maka Paman Fadhil rela membayar lebih mahal untuk tiket pesawat eksekutif dengan kapasitas bagasi lebih lega dan nyaman daripada harus membayar kelebihan bagasi jika mengambil pesawat kelas ekonomi. Hanya ada satu maskapai penerbangan terdekat di kota kita yang melayani lima bandara internasional di Indonesia, yaitu Indonesia Airways. Paman akan berangkat dari Surabaya, ke salah satu dari empat bandara lain, Balikpapan, Denpasar, Medan, dan Jakarta. Kalau mau ke luar pulau yang memaksanya menjual kendraan dan naik pesawat, tujuannya hanya satu, Balikpapan. Karena untuk pergi ke Medan dan Denpasar disediakan penyebrangan feri antar pulau untuk kendaraan pribadi, tapi untuk ke Balikpapan tidak mungkin. Paman Fadhil dari tadi melihat jam terus, itu tandanya dia tidak punya waktu banyak untuk check in. Dari rumah kita ke bandara Juanda, plus batas waktu check in dan duduk di ruang tunggu, mungin sekitar empat sampai lima jam. Jadi kalau ibu menyusulnya sekarang, ibu bisa lihat di FIDS online atau bertanya pada petusas bandara, keberangkatan Indonesian Airways dua sampai tiga jam lagi yang menuju kota Balikpapan. Benar begitu, ibu?"

Amira tersenyum bangga. Dia tidak mengira anaknya sudah mulai mahir dalam berhipotesis.

"Kursi 26F di dekat jendela," itu tempat duduknya. Tambah Amira. "Saat lampu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan, Paman Fadhil akan pergi ke toilet. Setelahnya, dia akan memesan spaghetti dan kopi tanpa kafein, lalu membaca majalah sambil melihat ke luar jendela sebelum makanannya habis,"

"Eh?" Zuan terperanjat. "Dari mana ibu bisa tahu?"

"Tajamkan pikiranmu, sayang," Amira menjentikkan jari di pelipisnya sendiri. Ia mengedipkan sebelah matanya tanda bahwa dia sudah cukup puas dengan ketajaman otak buah hatinya. "Dan perluas jangkauan analisismu,"

"Ibu berangkat dulu," ujar Amira sembari membuka pintu kamarnya. "Besok atau lusa ibu pasti akan membawa ayahmu kemari. Jaga rumah baik-baik, sayang,"

"Itu pasti, ibu," Zuan tersenyum yakin. "Hati-hatilah di jalan."

****

Di atas pesawat.

Fadhil kembali mengenakan sabuk pengamannya di kursi 26F. Barusan Fadhil harus pura-pura pergi ke toilet gara-gara dia tidak bisa melihat pramugari cantik tadi memberi tutorial pemakaian alat keselamatan.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sesaat setelahnya, pramugari yang dimaksud kembali melewati celah di antara kursi C dan D, namun dengan membawa produk-produk milik maskapai untuk dijual. Jika dibandingkan dengan pedagang asongan yang biasa mampir di bus-bus, sebenarnya tidak jauh beda. Hanya saja penjual yang satu ini terlihat lebih bersih dan mulus di mata pembeli, tentunya dengan harga produk yang jauh di atas rata-rata.

"Pesan spaghetti dan kopi tanpa kafein satu, mbak," sapa Fadhil.

Sebenarnya dia tidak punya niatan membeli. Hanya karena ingin mengobrol dengan wanita cantik dan menghibur hati, ia rela menghabiskan uang di sakunya. Kalau sudah dibuat galau oleh Amira, Fadhil suka berubah jadi laki-laki mata keranjang seperti itu.

Pramugari tadi sudah berlalu, dan Fadhil kembali merasakan kebosanan yang luar biasa. Ia hanya memakan spaghettinya sedikit. Perasaan galau akut membuat lelaki itu bahkan enggan menyentuh makanan dan minuman yang disukainya.

Fadhil mengambil majalah kmaskapai yang disediakan di situ. Saat membukanya, Fadhil sempat melirik ke luar sebentar. Dia ingin menikmati pemandangan pulau Jawa untuk terakhir kalinya sebelum berusaha meninggalkan segala kenangan yang pernah dilaluinya di sana.

"Amira, apakah kau benar-benar membenciku?" Batinnya.

2. Like Mother Like SonWhere stories live. Discover now