Euforia Yang Menghilang

71 30 18
                                    

"Rani!" teriakku sambil berlari mengejar sang pembawa euforia untuk diri ini. Namanya Rani Ashira, satu-satunya sahabatku dari kecil.

Rani memutar badannya menghadap ke arahku, menaikkan satu alisnya, kemudian menatapku dengan malas.

"Ran, aku mau bilang kalo aku ...." Aku mengambil napas banyak-banyak, entah kenapa tiba-tiba mulut ini gugup mengatakannya. Padahal biasanya aku tidak pernah seperti ini kepada sahabatku itu.

"Aku?" tanya Rani akibat omongan terputusku.

Aku menatap matanya yang sekarang berubah menjadi tatapan penuh harap.

Eh, apa tadi?

Penuh harap?

Apa aku tidak salah lihat?

"Aku ... jadian sama Ira! I ... iya, Ira anak kelas sebelah." Ingin rasanya aku mengutuk lidah ini, kenapa tidak bisa berhenti menyakitinya. Dan aku bingung kenapa kali ini saat mengatakannya, lidahku terasa gugup dan gemetar.

Aku yakin, setelah ini pasti akan terjadi hal yang seperti dulu, dia hanya mengatakan 'Iya, Aldi. Selamat, ya.' lalu pergi ke taman bagian pojok, lalu aku akan mengintainya diam-diam seperti dulu, melihatnya menangis lagi, karena merasa bahwa cintanya tak bisa terbalas olehku. Lalu aku akan sangat merasa bahagia dengan tangisannya itu.

Aku tahu dia menyukaiku, karena waktu itu dia yang bilang kepadaku, dan ia juga bilang padaku bahwa ia tidak akan memaksakan perasaannya itu untuk terbalaskan. Dan jika aku tak salah dengar waktu itu, dia bilang akan menungguku sampai aku juga bisa menjatuhkan hati padanya.

Rani menjatuhkan sebuah buku jurnalnya yang ternyata dia bawa dari tadi. Lalu mengambil napas pelan. "Iya, Aldi. Selamat, ya!" Kan, sudah kubilang pasti akan seperti ini lagi, dan ini sudah ketiga kalinya. Dan sebenarnya aku memang benar-benar berpacaran dengan perempuan-perempuan itu, namun dengan alasan tersendiri.

"Oh, iya," Rani memejamkan matanya, "Aku juga mau bilang, kalo aku sebenarnya udah pindah ke lain hati, tolong lupain kalo aku punya rasa ke kamu waktu itu ya, Di?" Rani membuka matanya, dan menatapku dalam-dalam. Membuat rasa yang seharusnya akan bereuforia lagi setelah ini telah berganti menjadi rasa takut.

Wajahku berubah panik, lalu aku menarik tangannya dan menggenggamnya.

"Kamu bilang apa, Ran?" Aku ingin memastikan.

Rani hanya diam dan memejamkan mata sebentar, entah apa yang dia pikirkan.

"Rani, pindah ke hati siapa? Kok gak bilang-bilang dulu ke Aldi?" Kutatap matanya sedalam yang aku bisa, dan menampakkan wajah murungku ke Rani. Mungkin ini saatnya dia tahu.

"Ran, kok diem, sih? Aldi nanya, nih."

"Ran, kamu beneran mau pindah ke hati orang lain, ya?"

"Rani, Aldi sebenarnya cuma main-main sama mereka. Aldi sayangnya cuma sama Rani, Aldi cuma seneng aja kalo liat Rani nangis pas Aldi jadian sama perempuan lain. Aldi suka liat Rani nangis soalnya Aldi tau, itu tandanya Rani sayang banget sama Aldi. Maafin Aldi ya, Ran. Tolong jangan pindah ke lain hati. Tolong, Ran."

Mungkin sekarang akan berbeda. Bukan Rani yang saat ini menangis, tapi aku. Aku sang pemilik hati si pemberi euforia yang saat ini menangis sambil menggenggam tangannya.

"Aldi, jangan nangis. Kamu 'kan tetap sahabatku," ucapnya lalu melepaskan genggaman tanganku. Sedetik kemudian, Rani melingkarkan kedua tangannya di leherku lalu memelukku erat, dan aku membalasnya dengan memeluknya lebih erat lagi. Walau aku tahu apa maksud tersirat dari ucapan terakhirnya itu.

"Rani, maafin Aldi."

Rani, sahabat dari kecilku itu merenggangkan pelukannya, lalu mendekatkan wajahnya ke arahku.

Aku berusaha menetralkan detak jantungku. Apa, apa yang ingin dilakukannya?

Rani mengarahkan bibirnya menuju telingaku, lalu berbisik pelan. "Aku memang sudah pindah hati, namun kamu gak akan pernah hilang dari tempat yang telah aku sediakan di hatiku yang paling dalam." Rani langsung pergi meninggalkanku, tak lupa ia mengambil buku jurnalnya yang terjatuh.

Inilah aku, si pemilik euforia yang tidak merasakan kebahagiaan yang sebenar-benarnya.

***

Bkl, 12 oktober 2017.

FEELING Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang