Feeling

55 8 15
                                    

Puan terlalu gila untuk aku gilai,

Puan terlalu gila, telah membuatku terlanjur tergila-gila olehmu.

Aku ingat, pada malam itu terus terngiang di kepalaku bagaimana cara kau tertawa, segaris candrasa melengkung lebar membuat matamu menghilang, sama seperti detak jantungku yang kurasa akan menghilang jika terlalu lama menatapmu tertawa seperti itu.

Teringat tatkala sore itu, sepulang sekolah.

"Aku pulang duluan, ya. Dadah!" teriakmu kala itu kepada semua yang ada di tempat. Mendung di luar tak menghentikan senyum lebar di paras cantikmu. Ya, bisa kupastikan bila hujan badai menerpa wajahmu pun tak akan bisa melunturkan paras apik itu.

Aku hanya tersenyum tipis dan ikut melambaikan tangan dari ujung pojok kelas, serentak dengan semua orang yang kau tegur.

Kharismamu sungguh menawan, semua orang sudah paham.

"Kalau suka, kejar. Jangan menunggu angin membawanya pergi, baru kau menyesali keberadaanmu di sini," ucap seorang temanku saat itu, dia selalu tahu apa yang kurasakan.

Kemudian aku bertekad, mendekatinya dengan segala cara, mungkin. Walau sebenarnya aku tak tahu harus bagaimana.

Besoknya, aku mendekatimu di jam makan siang, membawakanmu makanan yang paling kau suka. Selama ini, aku diam-diam memperhatikanmu.

"Terimakasih, ya," ucapmu saat itu.

Ah, lagi-lagi persona yang dipancarkan tampak menghipnotis kalbuku. Kurasa, rasa ini sudah semakin dalam.

Kemudian, aku pergi membiarkanmu menikmati apa yang tersaji. Ah, rasanya senang sekali mendapat titik fokusmu walau hanya sekejap seperti tadi.

Semenjak hari itu, tak lupa aku selalu mengucapkan selamat pagi sampai malam. Harap-harap kau akan menyadari perasaan ini.

Hingga suatu hari saat aku mulai menyadari siapa diriku ....

Saat itu kuhidupkan ponsel pintarku, melihat status instagram-mu bersama laki-laki ber-caption emoticon love berwarna merah.

Jantungku tertohok, goresan luka mulai tertoreh.

Kemudian, aku menatap cermin di hadapanku. Apa yang kurang dariku?

Perhatian lebih sudah kuprioritaskan untukmu, ketulusan selalu tercurah, dan rasa sayangku selalu berlebihan setiap harinya ..., apa itu semua masih kurang?

"Tak apa," ucapku pada diriku sendiri. Benar 'kan? Semuanya tidak apa-apa, toh aku masih bisa menunggumu renggang kemudian putus darinya, 'kan?

Sampai seterusnya, masih saja aku mendekatimu, dan tak lupa selalu mengucapkan selamat pagi sampai malamnya, kemudian membalas postingan-postingan di snap whatsapp-mu.

Beberapa minggu kemudian, aku tak melihat foto profilmu bersama laki-laki itu lagi, namanya tak lagi ada di statusmu, dan postingan instagram-mu tak lagi tentang dia.

Hatiku bersorak, kemudian aku mendapat pesan dari temanku.

"Dia udah putus." Temanku mengawali perpesanan di malam yang bahagia ini.

"Langsung gas dong, kali aja dia mau," lanjutnya.

"Gimana caranya?" balasku sambil bertanya.

"Tembak langsung, lah. Tinggal utarain perasaanmu kok susah," tutupnya mengakhiri perpesanan malam itu.

Seperti yang temanku sarankan waktu itu, sepulang sekolah aku langsung merealisasikan apa yang sudah menjadi niatku hari ini.

Waktu itu kau bersama dua temanmu, dan ada beberapa murid di kelas lainnya.

"Sya, kamu sudah tahu 'kan kalau perasaanku itu lebih buatmu? Jadi, mau nggak kamu membalasnya dengan sama?" ucapku dengan detak jantung yang sudah tak karuan.

Melihat raut wajahmu, aku sudah bisa menebak.

Tak ada senyuman, bahkan menatapku pun kau takut-takut. Ya, aku tau kau takut membuatku tersinggung.

Kemudian kau menitip pesan pada temanmu, yang bahkan tak perlu diberitahu pun aku sudah tahu jawabannya.

Tidak.

"Dia tidak bisa," ucap temanmu.

Ya, ya, ya, aku tahu.

Semenjak saat itu, kuberhentikan untuk menyapamu, menatapmu dan mengetahui semua tentangmu.

Namun tak bisa, ada satu hal di hatiku terus mengatakan bahwa jangan menyerah.

Kemudian setelah beberapa saat, kau membuat status di whatsappmu, bahwa kau sedang lapar.

Biasanya, aku hanya melihat sekilas dan berusaha tak peduli dengan apa yang kau buat, namun ntah, saat ini aku malah semakin memikirkanmu.

Lalu, aku tiba-tiba terpikir untuk membawakanmu makanan yang sama seperti waktu pertama kali aku membawakanmu makanan.

Tak pakai jaket, tak pakai helm, namun pakai rasa cinta, aku kemudian datang ke rumahmu malam itu.

"Ini buatmu, katanya kau lapar, hehe," ujarku sedikit gemetaran, dingin sekali malam ini.

"Wah, terimakasih," ucapmu sambil tersenyum. Ah, candrasa itu melengkung lagi untukku.

"Mau mampir?" tanyamu.

Aku menggeleng. "Nggak usah, mau langsung pulang," ucapku.

"Sekali lagi terimakasih, ya." Aku mengangguk.

Kemudian, dia menatapku dengan intens selagi aku menyalakan motorku.

"Oh iya, kalau masih ada perasaan lebih darimu untukku, tolong lupakan saja. Kita lebih baik berteman," ucapmu. Aku mematung sepersekian detik, kemudian menganggukan kepalaku.

"Iya, aku pulang, ya." Kau mengangguk mengiyakan.

Sungguh, malam ini sangat dingin, dan bertambah dingin lagi setelah kau lempar puluhan balok es tepat di jantung hati.

Lalu aku pulang dengan harapan yang telah usang. Mengakhiri malam itu dengan petikan gitar.

Kemudian aku sadar, bahwa sesuatu yang dikatakan cinta itu, saat kita benar-benar bisa membuat orang yang kita cinta bahagia walau bukan bersama kita. []

-Tamat-

Requestan temen:) i kno ini gaje wkwk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FEELING Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang