Part 6: Hide

44 0 0
                                    

   Hari Jum'at

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   Hari Jum'at. Hari yang paling kusuka. Aku mengambil seperangkat kayu warna-warni dan lembaran kertas putih di tasku. Ya, hari ini aku akan menggambar. Pak Hide masuk ke kelas sambil membawa alat-alat melukis lengkap dengan canvas putih. Aku tak sabar apa yang akan kugambar hari ini.

   "Baiklah, selamat pagi!" salam Pak Hide dengan nada nyaring.

   "Pagi Yah...!" (Ayah adalah sebutan akrabnya).

   "Kalian membawa barang yang telah Ayah minta kan? Hari ini kita akan menggambar sesuatu! Temanya adalah Dadaisme."

   Dadaisme?! Aku terkejut, tetapi teman-temanku binggung karena tidak tahu apa itu Dadaisme.

   "Apa itu Dadaisme?" kata Petra, tampaknya ia lebih curious daripada teman-teman di kelasku.

  Pak Hide diam saja, sesaat kemudian tanganya meraih ke dalam tas dan mengeluarkan sebuah gambar yang samar tetapi warna merah darahnya mencolok. Teman-temanku masih bingung.

   "Kalian tidak tahu gambar apa ini?" kata Pak Hide sambil tertawa remeh.

   Kelas hening. Mata Petra terpaku bingung kearah lukisan itu.

   "—ada yang tau, apa itu Dadaisme?" tantang Pak Hide.

   Aku kasihan melihat Petra, tanpa berpikir panjang, aku mengangkat tanganku.

   "Silahkan Gibralt, jelaskan ke temanmu apa itu Dadaisme."

   "Dadaisme adalah suatu aliran seni rupa yang berbentuk antiperasaan, dan biasanya merefleksikan kekerasan dan kekasaran." lugasku.

   Pak Hide menyimak. "Ya! Tepat sekali,"

   Petra menganguk lega, ia menatapku, mukanya tersirat ingin berkata terima kasih.

   Pak Hide mengambil spidol, artinya ia akan menjelaskanya secara detil.

   "Menurut sejarah, Dadaisme adalah gerakan budaya di Swiss,dan muncul pada saat perang dunia ke satu, yang berfokus pada poltik anti perang. lukisan Dadaisme lebih menonjolkan situasi kekerasan. Oleh karena itu, Dadaisme disebut anti seni dan bisa dibilang sebagai alat demonstrasi."

   Aku menganguk-anguk dan kagum mendengar sejarah itu.

   "--Oke, sekarang kalian harus membuat satu gambar Dadaisme."

                              🌘🌗🌔🌕

   Dua jam berlalu. Gambarku telah selesai.

   Aku menggambar apa yang kumimpi tadi malam. Persis, susananya, lantai nomor 3, teman-temanku, dan bahkan Pak Yanto ada didalam gambarku. Aku mengumpulkan gambar itu mendahului teman-temanku.

   Pak Hide bingung. "Apa ini Gibralt?"

   Aku terdiam, mencari judul apa yang bagus untuk gambar yang kubuat. "Itu..."

   Aku berpikir keras hingga menemukan judul yang tepat. "—Kelinci percobaan!"

   Pak Hide tercengang. "Kelinci percobaan? hmm... Not bad!"

   Pak Hide mengambil pena tinta merah dan memberi logo 'A PLUS' pada gambar yang kubuat.

   Sontak aku mendapatkan petunjuk. Kelinci percobaan, Pak Yanto pasti memerlukan subjek untuk melengkapi percobaanya. Entah mengapa hari ini aku berpikir 'ngawur' tetapi yakin akan yang kupikirkan. Aku berpikir, subjek percobaanya tak lain dan tak bukan adalah sahabatku sendiri, Cesar. Tapi bukan hanya Cesar, Theresa juga tampak sangat dekat dengan Pak Yanto, tetapi aku tidak begitu peduli denganya, karena sifatnya sangat mirip dengan Pak Yanto. Psikopat!

   Pak Hide adalah seorang kepala sekolah pengganti kepsek kami yang dulu, Sir.Muraday. Aku juga tidak tahu alasan yang jelas mengapa dia digantikan. Ekspresi yang ia buat saat digantikan adalah "Tidak sudi!". Sekolahku sejak dulu memang ruang lingkup penuh misteri, seperti saat tahun 2015 lalu, seorang siswa SMP bernama Barata meninggal karena jatuh dari lantai 4, peyebab kematianya masih penuh dengan misteri. Tidak hanya itu, sepuluh tahun setelah kejadian, makam Barata dibongkar dan diambil oleh orang yang tidak dikenal, bahkan 'suspect' peristiwa ini masih anonim.

   Jam kesenian sudah usai. Cesar terlihat telah membereskan buku dan menenteng tasnya. Aku diam-diam mengikuti Cesar, sejurus Petra menghalau jalanku.

   "Apa kau mau lari lagi Gibralt?!" kata Petra dengan nada agak kesal.

   "Ehh... Lari dari apa?" Aku bingung.

   Sejurus Ridhs datang membawa sapu dan sorokan.

   "Ini! Giliranmu untuk Piket hari ini!" kata Ridhs dengan nada remeh-temeh.

   "Kami berdua pulang duluan GIb. Bye..."

   Aku memang selalu lupa akan hal kecil seperti ini. Sejurus aku melihat kelasku kotor akibat pelajaran kesenian: sampah berserakan, serbuk kayu rautan pensil warna, kertas-kertas gambar. Intinya kelasku kacau-balau!

   "Yang benar saja!" Aku bergumam kesal. Membersihkan kelasku mungkin akan membutuhkan waktu yang lama.

   Lima menit berlalu, kelasku hampir bersih. Aku harus bergegas untuk menemui Cesar, karena mungkin ia berada di ruangan Pak Yanto.

   Aku mendengar langkah kaki dari depan kelas.

   "Wah... Kebetulan sekali," seru Theresa.

   Perasaanku tidak enak.

   Theresa terlalu obsesif padaku dan mengira aku adalah seorang Self harmfull. Aku juga tidak terlalu mengerti apa yang ia pikirkan dan eksperinya selalu terhalang oleh kacamatanya yang warnanya persis seperti Pak Yanto: putih.

   Theresa mendekatiku, ia menarik sebuah benda tajam (pisau) dari sakunya dan menodongkanya ketanganku. Aku berdiri biasa saja karena hal itu sudah dilakukanya puluhan kali, tapi bukan berarti ia tidak pernah membacok tanganku, mungkin alasanya melakukan hal demikian hanya untuk memegang tanganku saja. Ah... Aku juga tidak mengerti.

   Bersambung...

Survive On School (SOS) : Bertahan hidup di Sekolah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang