Part.5: I'm in LA but there's a big trouble

389 13 3
                                    

Pesawat mulai mendarat, dan aku harus merasakan kembali ke... tunggu dulu. Landed-nya lebih enak daripada take off-nya! Sebelum roda pesawat ini menyentuh tanah, aku sangat menikmati bagaimana rasanya berguncang sekaligus mendengar bunyi roda pesawat yang menyentuh tanah. Uuuhhh.. aku makin tak sabar saja ingin mencium aspal di Los Angeles! Private jet ini pun akhirnya mendarat dengan sempurna. Aku pun menyambar tasku dan langsung menanti di depan pintu pesawat ini. begitu pintu itu terbuka dan tangganya sudah ada, aku melompat menuruni tangganya.

UDARA! TANAH! Aku tidak pernah serindu ini dengan udara dan tanah. Sejenak, aku merasa beruntung masih bisa melihat dunia ini. tidak seperti Mom dan Dad... ah, mereka justru berada di tempat yang lebih indah daripada Los Angeles.

Iri sekali aku pada mereka.

Tunggu. Seperti ada yang kurang. Dimana Max? Kenapa dia belum sampai juga? Apakah terjadi kecelakaan disana? Aku berjalan menghampiri Justin padahal aku tahu kalau Justin juga akan berjalan ke arahku juga. “Dimana Max?” tanyaku dengan nada khawatir bercampur panik. Sungguh. Aku tidak ingin Max menghilang dan membiarkanku berada di negara yang bahkan bukan negaraku ini, S-E-N-D-I-R-I-A-N.

Justin tertawa mendengar pertanyaanku itu. setelah mengantongi hapenya kembali, Justin menyuruhku menyamar kembali namun dengan cepat ku tolak. “Jawab dulu pertanyaan gue.” Aku tidak takut menolak perintah Justin karena aku sendiri belum mendapatkan jawaban yang ku harapkan. Rupanya Justin lebih ahli mengancam daripadaku. Dia memakaikan jaket yang sedari tadi dia kalungkan di lehernya dan memakaikanku kacamata hitamnya. “Pake ini dulu sampe kita di dalem mobil, jaga jarak sama gue, baru gue jawab pertanyaan lo.”

Pasrah. Itulah yang ku lakukan sekarang. Ku temukan kelemahanku sekarang, yaitu Justin. entah kenapa aku selalu tunduk dan patuh padanya. Akhirnya dengan berat hati, ku pakai jaket bertudung itu sekaligus kurapatkan agar menutupi wajahku dan mengikuti salah satu langkah seseorang yang tak ku kenal untuk berpisah dengan Justin.

sebelum kami berpisah, Justin memberikanku handphonenya dan berpesan padaku. “Bersikaplah biasa saja, dan berpura-puralah memainkan handphone ini. keep ur head side down, okay?” aku menghela nafas, mengangkat bahuku dan meninggalkan Justin begitu saja tanpa menyahut apa-apa. Ah. Bagaimana kalau handphone ini rusak? Biar saja. dia kan orang kaya. Mungkin di rumahnya ada satu lemari berisi handphone semacam ini.

Sambil terus memandangi layar handphone Justin dan melihat-lihat isinya. Aku tidak terlalu mengerti apa maksud dari berbagai macam tombol, jadi ku pencet asal saja. anehnya, rasanya sungguh menyenangkan apalagi kalau handphone-nya sampai rusak. Tapi, mataku tetap tak lepas dari langkah penuntun jalanku dan sesekali mendongak, memastikan kalau aku tidak terpisah dengannya. Akhirnya kami berdua sampai di sebuah van berwarna hitam. Pria itu menyuruhku masuk sedangkan dia sendiri tak ikut masuk. Saat aku duduk dan melihat ke dalam mobil, voila! Wajah Max tepat berada di hadapanku! Oh, kalian tidak tahu betapa bahagianya diriku!

“MAX!!!!” pekikku riang. Semua orang yang ada di dalam mobil, tak terkecuali Max, menutup telinganya. Bahkan si sopir mobil ini pun sampai berhenti mendadak. Mungkin dia mengira sesuatu mengerikan telah terjadi pada penumpangnya. Setelah membuka kembali telinga mereka, Tom dan Siva menatapku kesal. Aku hanya meringis kecil. Kemudian tanpa memperdulikan semuanya, aku mulai berbicara panjang lebar dengan Max. Tak ketinggalan, aku memeluknya terus menerus. Bahkan Tom yang berada disebelahnya ku suruh pindah menggantikan tempatku.

“AstAgA, Max... lo harus tau betapa rindunya gue sama elo!!” aku tak melepaskan pelukanku darinya. Kehangatan pelukannya benar-benar memuaskan kerinduanku selama 10 jam belakangan. Max juga membalas pelukanku hangat. Di dalam mobil, kami berdua asik dengan pembicaraan kami. Tanpa gangguan, tanpa Tom.

Aku tak bisa membujuk Max untuk ikut denganku tinggal dirumah Justin. padahal belum tentu di markas The Wanted lebih nyaman daripada rumah Justin—Max yang menceritakan tentang markas The Wanted padaku—tapi tidak menutup kemungkinan juga markas The Wanted lebih nyaman dan enak dari rumah Justin. aku kan di ajak Justin, berarti aku harus menuruti perintah Justin. Max kan aku yang ajak, kenapa dia tidak mau patuh padaku? Dimana letak keadilan, sekarang?  

KIMBERLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang