Part.9: Sistah

331 8 1
                                    

“Jadi?” Tanyaku dalam perjalanan ini. Nathan sejak tadi ku perhatikan terus saja tersenyum. Padahal sama sekali tidak ada yang lucu. Oh, apakah mungkin dia ingin bertemu dengan orang yang disukainya? Kalau begitu, kenapa aku juga harus ikut?

“Jadi apa?” tanya Nathan balik. Senyumnya masih saja belum hilang. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku seperti yang suka Justin lakukan. Ayolah, Kim orang lan berbeda-beda. “Katanya lo mau kasih tau kita mau kemana kalo udah di mobil.”

Jangan bilang kalau itu hanya omong kosongnya saja supaya aku ikut. Akan ku lempar dia keluar dari mobil ini. Atau kalau dia lupa, misalnya. “Iya, sih. Cuma rasanya ga asik banget kalo gue bilang sekarang. Nanti nggak ada efek kejutannya, dong.”

Cowok ini main-main, ya? Mana sekarang dia jadi sok misterius begitu, lagi. Suka-suka dia sajalah. Yang penting dia harus tahu kalau aku tak akan membiarkan hidupnya tenang jika ini adalah salah satu dari leluconnya yang tidak lucu.

“Nah, udah sampe~ yuk turun.” Aku sempat tertidur tadi. Sudah sampai dimana, kami? Ku angkat tangan Nathan yang memakai jam tangan. Sudah pukul 12? Berarti kalau aku tidak salah ingat, perjalanan kami berlangsung selama 1 jam. Padahal cepat, tapi bisa-bisanya aku mengantuk hingga tertidur.

Aku mengikuti Nathan masuk kedalam sebuah gedung. Aku tidak tahu gedung macam apa itu. Kami sampai di sebuah ruangan yang dikelilingi oleh kaca. Ruangan itu tidak begitu besar dan ramai. Hanya ada kira-kira 5 orang di dalamnya. Dan salah satunya menarik perhatianku.

Seorang wanita berambut panjang bergelombang dan terurai, sedang menari disana dengan sangat bersemangat. Aku yang berada jauh dibelakangnya tak bisa berhenti memperhatikannya sampai wanit itu tiba-tiba berhenti karena melihat pantulan diriku di semua cermin ini.

Harusnya aku membuang muka, tapi entah kenapa aku menjadi penasaran dengan wanita ini. Dari sini, aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wanita itu minum dan mengelap keringatnya menggunakan handuk kecil sambil terus melihat ke cermin. Aku ingin mendekati, tapi aku punya feeling kalau dia akan menghampiriku terlebih dulu.

Benar saja. Ketika dia berbalik, mataku membulat. Itu kan Selena. Jadi, Nathan mengajakku kesini untuk menemui Selena? Aku menoleh ke segala arah, mencari dimana pria itu bersembunyi sekarang. Bukan Nathan namanya kalau tidak datang dan pergi secara tiba-tiba.

Selena juga kelihatan terkejut melihat seorang wanita yang berwajah mirip dengannya. Mendadak aku merasa sedikit malu. Awalnya Selena berjalan santai ke arahku—atau tidak—namun lama kelamaan dia berjalan setengah berlari hingga akhirnya aku dan dia saling berhadap-hadapan.

“Uhm..hai?” sapaku. Aku tak tahu salahku apa, tapi kenapa mata Selena menjadi berkaca-kaca? Aku sedang memikirkan kemungkinan terburuk tentang alasan mengapa Selena hampir menangis saat Selena menjatuhkan tas selempang hitamnya dan memelukku secara tiba-tiba.

Aku baru sadar kalau dia juga memakai jaket hitam dan training abu-abu, sama seperti saat aku pergi ke Texas bersama Justin. Kebetulan sekali, bukan? Untung saja aku tidak pakai itu hari ini.

Kurasakan Selena mulai menangis tersedu-sedu di pundakku. Kini semua orang pun memperhatikan kami. Selena melepaskan pelukannya dan matanya terlihat sembab. Dia benar-benar menangis, rupanya. Selena sudah membuat ku kaget karena tiba-tiba menangis di pundakku, sekarang dia membuatku kembali terkena serangan jantung dengan memanggilku;

“Kakak!” yang ini sebenarnya selain membuatku kaget, bingung, sekaligus ingin ku teriakkan “ARE YOU CRAZY OR NUTS?!!” di depan wajahnya tapi aku tahu semua ini pasti ada penjelasannya.

Selena menarikku untuk duduk menghadap ke cermin. Aku mencoba segala cara duduk yang membuatku nyaman sedangkan Selena duduk bersila. Aku memperhatikan wajahku dengannya melalui pantulan di cermin. Kami memang benar-benar mirip apalagi kalau dilihat dari jarak sedekat ini.

KIMBERLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang