3. Menjadi Sandaran

47 3 1
                                    


Azril menghentikan motornya setelah aku berbisik memintanya berhenti. Setelah motor itu benar-benar berhenti aku segera meloncat untuk turun dari boncengan Azril. Setangah berlari aku mendekat ke arah adikku berdiri. Jarak kami masih cukup jauh mungkin masih tiga puluh meter. Namun dari jarah sejauh itu aku masih dapat melihat jelas keberadaan orang-orang itu.

Tubuhku bukan hanya mengalami perubahan fisik tapi juga beberapa inderaku mengalami peningkatan kemampuan. Seperti mataku, aku bisa melihat dengan jelas dari jarak jauh meski itu dalam keadaan gelap. Apalagi jalanan di sini sedikit remang-remang hal itu malah sedikit mempermudahku untuk melihat kondisi sekitar. Mungkin jarak pandangku ketika dalam keadaan gelap gulita adalah sekitar lima puluh meter. Jadi, dari jauh aku bisa meminta Azril menghentikan motornya.

Tampaknya Azril bingung dengan apa yang barusan. Untung aku sudah memintanya untuk tidak bersuara. Mungkin jika aku tidak meminta hal itu maka saat ini Azril akan berteriak memanggil namaku dan memintaku menjelaskan tindakanku. Itu malah akan buang-buang waktu.

Aku ingin mengendap-endap mendekati Asoka dan para pereman itu. Jika aku langsung datang ke sana dengan menaiki motor Azril pasti hal itu akan menarik perhatian mereka. Bisa-bisa mereka mengambil tindakan dengan membekap adikku misalnya. Aku tidak ingin itu terjadi.

Aku tahu saat ini para pereman itu masih dalam tahap menggoda adikku. Memintanya menemani mereka atau semacamnya. Yang jelas aku masih memiliki waktu untuk menyelamatkan adikku. Bagaimanapun juga, meski dia membenciku Asoka tetaplah adikku. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang kakak untuk mejaga adiknya bukan. Jadi aku akan melaksanakan tugas itu dengan baik. Lagi pula dia adalah anggota keluarga terakhirku. Aku tidak ingin hidupnya hancur.

Aku bersyukur dulu ayahku pernah mengajariku bela diri. Meski dulu aku masih sangat kecil tapi aku diajari dasar bela diri. Dan ketika ayahku menghilangpun aku masih berlatih bela diri. Saat itu aku beranggapan bahwa aku harus bisa bela diri untuk mejaga diriku sendiri dan ibu khususnya ketika tidak ada ayah.

Dulu memang aku pernah ikut karate. Aku termasuk anak yang berbakat di bela diri itu. Namun sejak perubahan dalam diriku, semua berubah. Kehidupanku berubah sejak tubuhku berubah. Ah membingungkan jika aku mengucapkan hal itu. Tapi itu kenyataanya.

Lima orang di sana, aku yakin masih bisa melawan mereka. Lagi pula ada Azril bersamaku. Meski aku tidak tahu apakah dia bisa bela diri atau tidak, yang jelas kehadirannya membantu. Mungkin dia bisa menglahkan satu orang atau setidaknya ada dua orang yang memberikan atensi kepada Azril. Itu akan sangat membantuku mengalahkan mereka. Apalagi mereka mabuk. Aku harap ini mudah seperti yang aku bayangkan.

"Itu orang yang pengen kamu pastikan keselamatannya?" bisik Azril. Saat ini kami bersembunyi di balik sebuah pohon.

Seperti dugaanku, para pereman itu masih dalam tahap menggoda adikku. Jika mereka sampai menyentuh adikku meski hanya seujung kuku aku akan langsung bertindak. Meski aku bisa bela diri, tidak berarti aku suka berkelahi. Kita hanya perlu mengeluarkan kemampuan kita jika sangat terpaksa. Jika jalan damai bisa ditempuh kenapa harus lewat kekerasan. Itu lah prinsipku. Jadi saat ini aku hanya bisa menunggu. Aku berharap para pereman itu hanya menggoda adikku dan membiarkannya lewat tanpa syarat.

Aku mengangguk pelan. "Bukankah dia anak SMP yang tadi nggak mau kamu layani? Emang kamu kenal dia?" tanya Azril masih dengan berbisik.

"Ya. Aku mengenalnya. Sangat mengenalnya. Dia adikku."

"Adik? Kenapa dia bersikap seperti itu padamu?"

"Panjang ceritanya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk bercerita. Fokusku hanya ingin memastikan keselamatan adikku. "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 11, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Guardian Of Texon [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang