BAB 1: Sekolah

170 4 0
                                    


Suara khas dari aplikasi Line berbunyi tak henti. Gia menyumpahi siapapun yang memulai percakapan di grup ini. Sangat menganggu menurutnya.

Jam kosong adalah surga untuk Gia, ia bisa balas dendam untuk waktu tidur yang hanya bisa ia dapatkan tiga sampai empat jam setiap malam. Sekarang adalah jam pelajaran ke 5, jam yang berada setelah istirahat pertama. Jadi, ini benar benar waktu yang tepat untuk tidur karena perutnya baru saja diganjal oleh makanan ringan. Dan karena suara berisik yang tak kunjung berhenti itu, akhirnya dia gagal untuk mengunjungi daratan mimpi.

Ia putuskan untuk membuka obrolan, hanya sekilas membaca agar tau apa penyebab dari overload nontifikasi yang disebabkan grup ini. Seperti biasa dan sudah tidak mengherankan lagi, penyebabnya hanya karena Kiara.

Dengan malas, Gia memutuskan untuk mematikan nontifikasi hanya untuk sementara. Jika saja grup ini tidak membantu menyebarkan informasi penting disaat yang mendesak, Gia sudah keluar dari grup ini sejak lama.

Ia menoleh ke cewek yang menjadi teman sebangkunya itu, masih dengan posisi menyilangkan tangan sebagai bantalan kepalanya.

"Kiara, lo bikin masalah apa lagi sih? Bosen tiap liat grup isinya lo melulu." Yang diajak bicara menoleh tanpa memandangnya, Kiara masih sibuk membalas pesan pesan di ponselnya.

Masih dengan tatapan yang terpaku pada layar ponsel, temannya yang bernama Kiara itupun menjawab "Masalah apa sih, mereka aja yang telalu ngefans jadi selalu ngomongin gue. Padahal kali ini gue gak jadi jalang, gua mutusin Tio baik baik."

Gia mengerjapkan bulu matanya yang lentik secara perlahan sambil mengambil nafas berat. Ia merubah posisinya menjadi duduk tegak dan menyilangkan tangannya di kedua pahanya. "Gini, lo sama siapa tuh tadi namanya?" Gia tampak mengingat ingat nama cowok terakhir sahabatnya ini "Rio ya? Apa Tio? Ah, pokoknya itu lah. Intinya lo sama dia belum ada satu minggu. Mau lo bilang mutusin baik baik atau gimana, tetep aja orang lain ngeliatnya kayak lo lagi mainin dia."

Kiara meletakan ponselnya dan menatap Gia lekat lekat. Ia tampak berpikir sejenak, lalu bersiap siap mengeluarkan kata kata pembelaannya. Baru saja ia menarik nafas untuk memulai deklarasinya, tiba tiba bu Yani guru Sejarah yang terkenal galak dan membosankan pun masuk. Bukannya Gia tidak menyukai sejarah, tetapi guru itu membuatnya menjadi membosankan.

Sambil mengetuk ngetukan pantofel jadulnya itu, bu Yani menelisik ke sekeliling kelas. Mencari jika ada siswa yang masih tenggelam dalam dunianya sendiri. Ini adalah saat saat paling menegangkan untuk seluruh murid. Rumor mengatakan bahwa ada salah seorang senior mereka yang berakhir dipaksa mengundurkan diri dari sekolah karena tertangkap tidak memperhatikan guru itu.

Bu Yani pun memulai kegiatan mengajarnya saat dia yakin seluruh murid sudah memusatkan perhatian kepadanya. Kiara ingin mengutuk siapapun yang membuat bu Yani mendapatkan posisinya saat ini. Sebenarnya Kiara tidak membenci pelajaran Sejarah, tapi karena bu Yani ia jadi membencinya.

Gia menguap sambil terus menatap bu Yani, jujur dia tidak mendengarkan apapun yang bu Yani katakan. Pikirannya melanglang buana ke menu makan siang yang dihidangkan kantin hari ini.

Sebuah sikutan menyadarkannya, Gia menoleh ke arah Kiara dengan pandangan –ada-apa- dan dibalas dengan tatapan –lihat-kedepan-. Ternyata, bu Yani memangil namanya dari tadi. Bukan salahnya, ia hanya melihat tapi tidak mendengarkan.

"Anastasia Giany Putri, apakah kamu mendengar saya?" ucap bu Yani. Jika kalian pernah mendengar bahwa tatapan bisa membunuh seseorang, Gia sedang dibantai oleh tatapan bu Yani sekarang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 15, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

So I Say, My Captain!Where stories live. Discover now