10. Meet - End

205 15 0
                                    

Tama masuk ke dalam kafe yang terasacozy tersebut. Musik akustik mengalun lembut seolah menyatu dengan obrolan para pengunjung.Ia berjalan menuju meja pemesanan dan membeli espresso. Setelah membayar ia memilih meja pojok yang jendelanya langsung mengarah ke jalan besar, berseberangan dengan kampus Mara.

Tama mengeluarkan HPnya, waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima menit, namun sosok Mara nggak nampak sama sekali di sekitaran kafe. Berbarengan dengan espresso-nya di antar ke meja, Tama mencoba menghubungi Mara lewat satu-satunya akses yang ia miliki untuk berhubungan dengan gadis tersebut, direct message Instagram.

pratamahara : gue udah di lokasi

Balasan nggak langsung muncul. Tama memilih menikmati arsitektur kafe selama beberapa saat. Sampai akhirnya pandangan matanya teralihkan ke seberang jalan. Di sana berdiri sosok yang tengah dinantinya. Menggunakan turtleneck shirt berwarna orange, bawahan skinny jeans hitam. Rambut hitam sebahunya tergerai jatuh di sisi wajahnya.

Tama tanpa sadar tersenyum. Diamatinya cewek yang perlahan berjalan menuju kafe tempatnya menunggu, melewati bagian luar kafe dengan langkah pastinya. Mendorong pintu dan mengarahkan bola matanya berkeliling kafe, sampai akhirnya mata mereka bersirobok.

Mara menatap bola mata hitam pekat yang balik menatap ke arahnya tersebut. Sejenak ia merasakan apa yang disebut orang dengan flashback. Cowok itu pernah menjadi dunianya. Cowok itu pernah menjadi salah satu orang terpenting dalam hidupnya. Cowok itu pernah menjadi napasnya. Jadi, nggak heran ketika cowok itu memilih pergi bersama sahabat dekatnya kala itu, Mara merasa kehilangan dunianya, kehilangan orang terpenting dalam hidupnya, hingga rasanya sangat sulit untuk bernapas saat itu.

Mara nggak menyangkal, sesak itu masih ada, sampai saat ini bahkan ketika mereka kembali bertatapan. Sejenak Mara menghela napas, mengerjapkan kedua matanya, melempar pandangan matanya kemana saja, hingga setidaknya sesak itu nggak terlalu menghimpit dadanya saat ini.

Pelan Mara melangkah mendekat meja di bagian pojok kafe yang ditempati Tama. Cowok itu masih fokus memandang ke arahnya, berusaha untuk mengatur degup jantungnya yang tak beraturan. Berdegup tak beraturan untuk orang yang pernah memiliki hatinya.

"Hai, Mara," sapa Tama, ketika cewek itu sampai di hadapannya.

Mara hanya tersenyum kecil, enggan membalas sapa Tama. Cewek itu menarik kursi di depan Tama dan mereka kembali berhadapan dengan posisi duduk.

"Kopi?" tawar Tama, sembari mengangkat cangkir espresso-nya.

Mara menggeleng sembari mengeluarkan tumbler-nya yang berisi infused water strawberry. "Lagi ngurangin kafein dan gula," ucap cewek itu untuk pertama kalinya di hadapan Tama setelah dua tahun Mara memilih bungkam.

"Kayaknya gue mesti coba," kata Tama sembari menunjuk tumbler Mara.

Mara hanya tersenyum kecil sebagai tanggapan. Tama menghela napas. Sepertinya ia harus to the point.

"Tamara," panggil Tama. Gadis di hadapannya itu kembali menatap  ke arahnya. "Gue minta maaf. Gue minta maaf untuk semua kesalahan yang gue lakuin ke elo. Gue minta maaf untuk semua kesakitan yang pernah lo rasain. Gue minta maaf buat kebrengsekan yang gue lakuin ke elo. Gue sangat amat menyesal, Ra," ucap cowok itu dengan mimik penyesalan yang teramat dalam.

Mara mengerjapkan matanya sekilas. Sebelum akhirnya membuka mulutnya. "Pratama Hara, lo tau? Lo pernah jadi dunia gue. Jadi ketika lo pergi, gue serasa kehilangan dunia. Gue nggak pernah berpikir lo akan pergi ninggalin gue. Harusnya dulu gue nggak selebay itu menempatkan lo di posisi sepenting itu." Cewek itu menyunggingkan senyum lebarnya. "Sekarang, setelah dua tahun berlalu, kita duduk di sini dan gue dengerin permintaan maaf lo. Lo mau gue gimana, Tama?"

"Mara, gue berusaha hubungi lo lagi tapi..."

"Gue blokir semua akses lo ke gue," aku Mara.

"Termasuk telpon dan sms," tambah Tama, ditatapnya Mara nggak habis pikir. "Gue ke rumah lo, lo nggak pernah ada. Lo di mana sih selama itu?"

"Sembunyi dari kejaran mantan brengsek," aku Mara lalu terkekeh, pilu. Teringat akan dirinya yang memutuskan untuk tinggal di tempat tantenya sementara waktu, menghindari usaha Tama untuk menemuinya, berusaha untuk menjelaskan.

"Sekarang gue di sini, Ra. Kita di sini dan lo nggak menghindar," kata Tama.

"Karena bagian gue udah selesai, Tama. Sekarang giliran lo," ucap Mara, sendu.

"Maksud lo?"

"Pergi, Tama. Jangan ganggu hidup  gue lagi."

"Ra, lo masih marah?" Mara menggeleng. "Trus? Lo dendam apa gimana sama gue?" Mara menunduk. "Gue nggak minta banyak, Ra. Gue minta maaf dan mau berteman lagi sama lo, meski yang gue rasain ke elo nggak ada yang hilang, Ra. Nggak pernah. Gue masih sayang elo, Ra."

"Tama, kita ini ibarat buku yang udah pernah dibaca. Ending-nya udah ketauan seperti apa," ucap Mara, pelan.

Rahang Tama mengeras. "Gue nggak pernah serius sama Anggun..."

"Stop. Nggak usah sebut nama itu lagi," potong Mara. "Gue tau lo cuma jalan beberapa minggu sama dia."

"Itu lo tau, tapi kenapa lo segininya sama gue?" tuntut Tama.

"Ini bukan sekedar lo jalan seminggu-dua minggu sama mantan sahabat gue, Tama. Ini semua balik lagi ke elo. Karena lo dulu dunia gue, ketika lo pergi, gue udah nggak punya dunia lagi. Dunia gue hancur, Tama. Tolong ngerti di situ. Gue nggak bisa." Mara menatap Tama berkaca-kaca. "Sejak dua tahun yang lalu sampai detik ini, gue masih berusaha untuk belajar memaafkan elo, Tama. Belajar memaafkan mantan sahabat gue juga."

"Mara." Tama berusaha meraih jemari cewek yang tengah meremas tumbler-nya tersebut, namun dengan segera Mara menjauhkan tangannya, menatap Tama tajam. "Sorry, gue nggak ada maksud..."

"Pergi ya, Tama. Tolong jangan gini lagi," pinta Mara. "Ikhlasin gue, stop berusaha menghubungi gue," tambahnya.

Tama menelan kata, kelu. Ditatapnya Mara dengan sendu, sejenak senyum kecilnya tercetak di wajah gantengnya. "Kalo itu yang terbaik buat lo, Ra. Gue pergi. Terimakasih atas waktu dan kesempatan yang lo berikan ke gue."

Mara memandang kursi kosong di hadapannya. Tama beranjak pergi setelah memenuhi permintaan Mara agar mereka nggak berhubungan lagi. Cowok itu berlalu menyisakan setitik bening yang meluncur turun dari mata hangat Mara. Tangis perpisahan mereka untuk yang kedua kalinya.

15 Oktober 2017

The End

Blocked 🚫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang