Tiga...

7 2 0
                                        

Ini aku, Priska. Kulihat senja masih sama, menyisakan jingga pada langit yang semula menyala. Begitupun aku. Masih menyelaraskan mimpi dan kenyataan.

Enam bulan kemudian...

Aku belajar banyak hal di lingkungan kerja yang baru. Aku sudah akrab dengan seluk beluk istilah dan detail pekerjaanku. Semua rutinitasku disini tidak sedikitpun mengganggu kuliahku. Aku menyukai pekerjaanku, terlebih saat Edi ada disini untuk mengantar makanan atau menjemputku pulang bahkan sekedar menemaniku berbincang menghapus jenuh. Aku mulai merasa bahwa Edi adalah malaikat penolong yang Tuhan kirimkan untukku. Sebaliknya, aku tidak terlalu menyukai Indra yang perfeksionis dan memperhatikan hal-hal kecil dengan sangat mendetail.

Edi meneleponku hampir setiap malam. Mengobrolkan apa saja. Benih-benih cinta di antara kami tampaknya mulai tumbuh subur. Mama pun memberi respon positif terhadap kedekatan kami. Kehidupanku berubah menjadi menyenangkan kembali, bahkan jauh lebih menyenangkan dari yang terakhir kali kurasakan di Bekasi. Hanya saja, baik aku maupun Edi tak ada yang mampu mengungkapkan perasaan secara lisan. Kami hanya berkasih melalui sikap dan perhatian, awalnya aku tidak merasa bahwa ini adalah suatu masalah. Namun lama kelamaan, aku risih dengan teman-temanku dan mama yang justru kerap bertanya perihal status hubungan kami.

Beraneka pikiran mulai mengetuk alam bawah sadarku. Tak perlu memasang foto mesra dengan caption bahagia. Saat ini aku hanya ingin mengetahui perasaannya. Aku ingin merindu dan dirindu dengan wajar. Apa aku egois? Aku sedang melamun ketika lagu Love Story nya Taylor Swift mengalun merdu dari handphone ku, tanpa menengok layar aku pun mengangkat teleponnya.

"Halo, sayang. Gimana kuliah dan kerjamu hari ini?" suara lembut Edi menyapa. Aku senang, tetapi juga menggerutu dalam hati. See? Status hubungan kami tidak jelas tetapi Edi bahkan berani memanggilku semanis itu.

"Hey, kenapa diem? Indra gangguin kamu lagi?" Edi mengingatkanku pada kejadian beberapa hari lalu. Indra mengultimatumku dengan nada tinggi agar tidak terlalu dekat dengan Edi. Indra bahkan pernah sengaja menahan kepulanganku dengan berbagai alasan sampai malam tiba lalu mengajakku makan malam bersama. Ia lalu mengantarku pulang sehingga Edi tidak ada waktu bahkan untuk sekedar meneleponku yang sudah lelah. Tetapi sungguh, bukan itu yang mengganggu pikiranku saat ini.

"Enggak. Aku cuma..." sengaja ku gantung jawabanku. Aku tidak ingin Edi berpikiran yang tidak-tidak mengenai Indra. Ini bukan tentang dia, ini tentang aku dan kamu. Ucapku dalam hati.

"Cuma apa? Kamu sepertinya lelah, apa aku ganggu?" tanya Edi. Sepertinya ia menangkap nada gelisah dari suaraku. Bagaimana mungkin kami selalu menjalani hari bersama tanpa sedikitpun ia menyinggung perihal perasaan? terlebih status. Entah karena produksi estrogen ku sedang meningkat atau karena hal lain yang membuatku ingin diakui, aku memberanikan diri bicara.

"Well, aku cuma mau tau, gimana perasaanmu ke aku?" Kujawab pertanyaan Edi dengan pertanyaan lain. Runtuh sudah harga diriku. Biarlah. Aku hanya ingin mendengar pengakuan dari hatinya. Kudengar Edi mendesah panjang.

"Entahlah, aku sulit ngungkapinnya. Kamu perlu tau, aku bukan tipe pria yang mudah bicara tentang perasaan. Itu bukan keahlianku. Kalo aku mudah ngungkapin isi hati, mungkin di sekelilingku udah banyak bidadari. Kamu pasti bisa ngartiin sendiri. Gimana kamu ngerasainnya?" rupanya Edi menjawab dengan pertanyaan juga.

"Aku ngerasain kelembutan, kehangatan, dan kasih sayang dari setiap perlakuan, ucapan, dan juga caramu natap aku. Tapi enggak tau juga, mungkin ini cuma egoku saja. Atau mungkin aku salah ngartiin semua sikapmu. Entahlah. Setelah beberapa waktu yang kita lewatin bareng, kamu tentu tau kalo hatiku rapuh dan sering menderita. Hampir semua kekecewaan pernah kurasain. Mulai dari backstreet karena gak direstui, diselingkuhin, dicuekin, di posesif over protective in, dilamar, batal nikah, sampai disakitin secara fisik pun pernah. Tapi..." aku bicara panjang lebar. Kami terdiam beberapa saat.

"Malam ini kamu sering gantungin ucapanmu, sayang. Baiknya kamu istirahat. Besok sore aku jemput ya. Kita nyunset di Pantai Parangtritis lagi." Finally, Edi menutup pembicaraan tanpa sedikitpun menjelaskan tentang perasaannya padaku.

***

"Senja di pantai emang selalu indah" tuturku. Setelah lelah bermain ombak dan pasir, kini aku bersandar sepenuhnya pada Edi yang memelukku dari belakang.

"Tapi masih kalah indah sama kamu" ucap Edi, tepat di telingaku.

Aku tersenyum geli, lalu membalik tubuh sehingga kini berhadapan dengan Edi. Wajah kami hanya berjarak beberapa centimeter. Aku dapat merasakan nafas Edi dan jantungnya yang berdetak lebih cepat. "Kamu tahu? Aku sayang sama kamu, meskipun selalu sulit buatku ngungkapinnya. Aku terlalu takut sama perasaanku sendiri. Aku sering ngerasa bersalah ke kamu" ujar Edi lirih. It's unbelieveable. Barusan dia bilang apa? Sayang? Aku melemparkan senyum termanisku.

"Bersalah? Come on mas. Kamu baik banget, melengkapiku. Padahal aku gak pernah ngasih apapun. Aku juga sayang sama kamu. Bagiku perasaan ini udah lebih dari cukup"

Edi menangkupkan kedua tangannya pada wajahku "Well, can you give me one kiss, dear?" Aku kembali tersenyum lalu memejamkan mata. Tanpa menunggu persetujuan, bibir Edi menemukan bibirku. Kami berciuman.

***

Gn(

Adakah (Rasa) yang Salah?Where stories live. Discover now